Connect with us

Opini

Memaknai HUT Kemerdekaan RI di Tengah Pandemi Covid-19

Published

on

(bagian ketiga)
Ahli kesehatan melansir bahwa merebaknya virus corona karena tercetus oleh tiga faktor yaitu adanya host, agent dan environment. Pengendalian terhadap tiga faktor pencetus merebaknya virus corona mesti dilakukan secara terintegrasi. Karena keterbatasan struktural, negara harus melibatkan keikutsertaan masyarakat.

Kemanunggalan negara dan rakyat menjadi kunci menguatkan energi kolektif memerdekakan Indonesia dari jerat Covid-19.  Keterlibatan dan disiplin masyarakat dalam menterjemahkan serta meneruskan kebijakan pemerintah merupakan indikator keberhasilan dalam pengendalian Covid-19.

Ancaman Pandemi Covid-19
Penyebaran wabah pandemi covid-19 pada awalnya terdeteksi sangat lambat di Indonesia. Realitas ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dan pluralistik. Kondisi tersebut berbeda jika dibandingkan dengan pola dan frekuensi penyebaran yang sangat cepat di negara-negara kontinental. Ada kondisi plus-minus pada posisi Indonesia yang unik seperti ini. Penyebaran pada awal terdeteksi lambat, akan tetapi setelah tersebar merata, akan lebih sulit dilokalisir. 

Ketika sudah tersebar merata di 34 provinsi, relatif lebih sulit untuk dikendalikan, bahkan cenderung terus tidak terkendali. Disamping sulit, juga memerlukan waktu yang lama. Langkah-langkah luar biasa diperlukan untuk percepatan penanganan Covid-19.

Jumlah orang yang terinfeksi covid-19 di Indonesia saat ini telah menembus angka lebih dari 160 ribu orang. Covid-19 semakin mengancam dengan tambahan orang terpapar rata-rata 2000-an orang setiap hari, bahkan menyentuh angka lebih 3000 orang pada penghujung Agustus 2020. Realitas ini menghentakkan kita semua serta menggugah rasa kemanusiaan. Harus terbangun sense of crisis yang tinggi dalam menyikapi sekaligus mengendalikan wabah pandemi Covid-19 ini.

Disiplin dan ketaatan terhadap protokol kesehatan Covid-19 di masyarakat masih lemah. Pada era new normal dengan adaptasi kebiasaan baru, masih banyak orang yang belum menggunakan masker ketika sedang bepergian, tidak mencuci tangan dengan sabun di air mengalir setelah beraktifitas dan tidak menjaga jarak ketika berinterakasi dengan orang lain, serta acuh menghindari  kerumunan orang. Pendekatan kultural dan sosial merupakan langkah strategis ditengah lemahnya disiplin dan kepatuhan formal.

Kita mengapresiasi semua langkah yang dan kerja keras pemerintah. Kerja keras saja belumlah cukup. Masih perlu dibarengi dengan kerja cerdas dan kerja tuntas. Pada kondisi seperti saat ini diharapkan semua elemen bangsa bersinerji. Sekecil apapun, termasuk kontribusi pemikiran dan gagasan amatlah berharga untuk bersama-sama dapat membawa Indonesia lebih cepat keluar dari bencana pandemi ini.

Covid-19 dapat dianalogikan seperti penjajah. Pandemi ini telah merampas kemerdekaan berkumpul orang dalam jumlah besar, menelan banyak korban jiwa, menjadikan banyak orang kehilangan pekerjaan dan telah berkontribusi terhadap kontraksi negatif pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi ini dapat berujung pada ancaman pelemahan ketahanan nasional. 

Jika kita ingin merdeka dari penjajahannya, diperlukan kolaborasi dan sinerjitas dari seluruh elemen dan komponen bangsa sebagai satu kekuatan bersama. Perbedaan pendapat adalah rahmat, tetapi jangan menjadikannya sebagai ajang permusuhan. Kolaborasi dan sinerjitas harus dibangun diatas disiplin yang kuat didalam satu visi dan satu rasa senasib sepenanggungan.

Kita harus belajar dari keteladanan yang telah dicontohkan oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan bangsa ini. Keteladanan tersebut dapat diterjemahkan kedalam konteks kekinian. Penjajah adalah musuh bersama yang harus dihadapi dengan konsistensi perjuangan. Tidak boleh kendor, apalagi lengah.

Kekendoran dan kelengahan hanya akan menjadikan musuh semakin kuat dan merajalela. Dibutuhkan semangat kepahlawanan dari para pejuang bangsa. Kita masing-masing adalah pahlawan untuk diri kita sendiri dan juga untuk keluarga serta bangsa dan negara.

Covid-19 telah mengubah tatanan kehidupan karena memberikan dampak yang sangat luas. Jenis lain pandemi yang yang berulang setiap 100 tahun dengan sebutan Covid-19 ini melanda dunia sejak desember 2019 yang bermula di Cina.

Banyak sektor pembangunan terdampak Covid-19.  Covid-19 bahkan telah menyebabkan ekonomi Indonesia terkontraksi negatif pada triwulan kedua tahun 2020. Jika pada triwulan ketiga masih tetap negatif dengan kontraksi yang lebih dalam, maka kita harus bersiap memasuki resesi.

Diperlukan ketajaman visi, kekuatan kepemimpinan, kemampuan komunikasi publik dan penguasaan navigasi yang handal pada seluruh level kepemimpinan di Indonesia agar dapat membawa kapal besar Indonesia terhindar dari badai resesi (bersambung).

Oleh: Dr.Ir. Ishak Tan, M.Si
Dosen Universitas Winaya Mukti; Mantan Sekjen Pimpinan Pusat Pemuda Panca Marga

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dampak Politik Pengesahan RUU TNI

Published

on

By

Oleh : Oktavianus Alfianus Aha

Sejak disahkannya Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada 20 Maret 2025, gelombang kritik terus bermunculan dari berbagai kalangan. Ketakutan akan kembalinya Dwi Fungsi ABRI muncul kembali—mengingat masa lalu kelam ketika TNI menduduki hampir seluruh segmen pemerintahan di era Orde Baru.

Aksi penolakan terhadap RUU ini meletus di berbagai daerah, bahkan ketika masyarakat tengah bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri 2025. Mahasiswa dan masyarakat sipil menilai pengesahan RUU TNI sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi 1998—khususnya prinsip supremasi sipil dan upaya mengembalikan militer ke barak.

Kekecewaan publik pun meluas kepada para wakil rakyat di Senayan yang dinilai mengesahkan RUU ini secara terburu-buru, tanpa kajian akademis yang memadai dan tanpa proses yang transparan. RUU TNI membawa sejumlah dampak politik serius terhadap demokrasi Indonesia, yang dapat diuraikan dalam lima poin berikut:

RUU TNI memperluas peran militer dalam jabatan sipil dengan alasan “penugasan khusus”. Ini berpotensi membuka ruang politisasi militer yang selama ini dikunci oleh semangat reformasi. Saat prajurit aktif diberi legitimasi untuk menduduki jabatan di kementerian, lembaga pemerintah non-pertahanan, bahkan BUMN, maka batas antara militer dan politik menjadi kabur.

Peran militer dalam politik praktis bukan sekadar masalah norma, tapi juga menyangkut stabilitas jangka panjang demokrasi Indonesia. Militer yang terlalu dekat dengan pusat kekuasaan bisa memengaruhi proses pembuatan kebijakan, mengintimidasi lawan politik, dan menciptakan relasi kuasa yang timpang dalam birokrasi.

Salah satu pilar demokrasi adalah kontrol sipil terhadap militer melalui parlemen. Namun, dengan penguatan posisi TNI melalui RUU ini—terutama dalam hal anggaran dan kewenangan operasional—peran DPR sebagai pengawas menjadi lemah. Dalam banyak kasus, sidang-sidang terkait TNI dilakukan tertutup, sehingga akuntabilitas publik sulit dilakukan.

Partai politik pun kehilangan daya tawarnya dalam membentuk kebijakan strategis pertahanan. Bila dibiarkan, situasi ini menciptakan state within a state—TNI sebagai institusi yang berada di luar jangkauan kontrol sipil, namun punya pengaruh besar terhadap kebijakan nasional.

Netralitas TNI dalam kontestasi elektoral adalah prinsip utama dalam demokrasi modern. Namun, perluasan peran aktif militer dalam urusan sipil dan posisi strategis di lembaga pemerintahan bisa membuka celah keterlibatan militer dalam proses politik praktis, terutama pemilu.

Dalam situasi tertentu, militer bisa menjadi alat pengaman kekuasaan bagi rezim yang berkuasa. Misalnya, dengan memainkan peran dalam pengamanan pemilu, atau bahkan memengaruhi distribusi logistik dan stabilitas daerah. Jika ini terjadi, maka TNI tidak lagi dilihat sebagai pelindung bangsa, tapi sebagai alat politik.

RUU TNI berpotensi mendorong militer mengambil bagian langsung dalam sektor-sektor strategis sipil, termasuk pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, hingga pengendalian sosial. Keterlibatan ini meski terlihat efisien, namun mengorbankan prinsip partisipasi publik dan transparansi dalam kebijakan.

Militerisasi kebijakan publik menciptakan budaya top-down yang otoriter dan mengurangi ruang dialog antara negara dan rakyat. Pendekatan koersif yang melekat pada institusi militer tidak cocok dengan kebutuhan pembangunan yang inklusif dan demokratis. Ini adalah kemunduran dalam tata kelola negara modern.

Penguatan posisi militer di ruang publik berpotensi mempersempit ruang kebebasan sipil. Ketika militer diberi ruang untuk menafsirkan “ancaman nasional”, maka ekspresi kritis terhadap pemerintah atau kebijakan pertahanan bisa dianggap sebagai subversif. Hal ini akan berdampak langsung pada kebebasan pers, kebebasan akademik, dan kebebasan berpendapat.

Dalam sistem demokrasi, kritik adalah bagian dari kontrol sosial. Namun dengan meningkatnya peran TNI dalam kehidupan sipil, kemungkinan represif terhadap kelompok masyarakat yang dianggap “mengganggu stabilitas” menjadi lebih besar. Situasi ini akan menciptakan ketakutan dan membungkam aspirasi rakyat.

RUU TNI yang baru disahkan menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Alih-alih memperkuat pertahanan negara, regulasi ini justru membuka pintu bagi militer untuk kembali menguasai ruang sipil, melemahkan lembaga demokrasi, dan mengancam hak-hak dasar warga negara. Ini bukan hanya soal militer dan sipil, tapi soal masa depan demokrasi yang sedang kita bangun bersama.

Continue Reading

Opini

Trump dan Jalan Pemulihan Keuangan Pemeritah AS; Nasib Indonesia Bagaimana?

Published

on

By

SEMUA statemen Donal Trump di awal membuat dunia terkejut. Segera setelah dilantik Trump mengeluarkan pernyataan dengan level kontoversi top of the top. Dia mengatakan keluar dari WHO, dia mengatakan tidak akan memajaki gaji lembur dan pengeluaran sosial security, termasuk kesehatan, pendidikan dan semua BPJS AS. Lalu dia mengatakan akan mengakhiri konflik Ukraina Russia dan melanjutkan gencatan senjata di Gaza. Sejauh saya baca terakhir Trump menugaskan Kennedy Junior untuk menginvestigasi vaksin dan mengusut tuntas kematin John F Kennedy.

Saya sebetulnya tidak kaget karena seluruh rencana AS di masa Trump dapat dipetakan secara mudah. AS pertama-tama harus memulihkan APBN Amerika Serikat yang sekarang jebol. Maka pengeluaran negara yang merupakan penipuan seperti pengeluaran untuk WHO harus dihentikan. WHO dituduh menipu rakyat AS, sebanyak 40 persen anggaran WHO diberikan oleh pemerintah AS, namun menurut Trump dipake menghancurkan AS.

Demikian juga rencana AS yang lain juga seluruhnya ditujukan untuk menghentikan penipuan APBN AS seperti termasuk isue LGBT. Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya hanya mengakui dua jenis kelamin yakni laki laki dan perempuan, karena banyak gender akan membahayakan anggaran AS dan melemahkan ekonomi dan Industri AS. Demikian juga dengan penghentian perang Russia vs Ukraina serta perang Israel vs Palestina adalah dalam rangka menghemat belanja APBN AS. Selanjutnya AS akan menyadarkan pengeluaran yang besar untuk pembagunan pasca bencana alam yang tampaknya makin sering terjadi, untuk menggerakkan elonominya kembali.

Setelah rampung dengan masalah APBN, selanjutnya Trump bergerak masuk pada langkah kedua AS yakni memulihkan keuangan negara AS. Hal ini terlihat dari ketidak setujuan Trump pada transisi energi. Hal ini adalah pokok masalah keuangan bagi rezim petro dollar The Federal Reserve. Trump tetap ingin mengembalikan dollar sebagai mata uang tunggal dalam perdagangan global. Dolar tidak boleh digantikan dengan Cripto currency atau diigantikan atau disaingi oleh mata uang BRICS. Tentu saja transisi energi adalah ancaman bagi kekuasaan keuangan AS dan The Fed paca kegagalan Central Bank Digital Currency (CBDC).

Sanksi perdagangan akan diterapkan kepada China negara yang tidak mau menggunakan dolar AS sebagai alat tukar. Menutup jalur perdagangan Narkoba dan perdagangan illegal lainnya yang merusak ekonomi dan keuangan AS. Trump mengkampanyekan anti minuman keras, anti rokok, dan anti narkoba yang diketahuinya sebagai problem bagi Dollar.

Kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump pasti akan berdampak pada Indonesia. Terutama pada aliran investasi AS melalui Singgapore mitra utama AS lainnya, dan perdagangan Indonesia dengan AS. Mengingat Indonesia telah mengambil posisi bergabung dengan BRICS dan akan membuat mata uang sendiri menandingi dollar AS. Dampak berikutnya adalah ekspor Indonesia ke AS akan jadi masalah.

Indonesia berada dalam sikap yang berbeda soal WHO karena Indonesia justru memberi bantuan kepada WHO untuk program kesehatan Indonesia dan vaksinasi. Indonesia juga akan menutup pembangkit batubara untuk komitmen transisi energi 2060. Indonesia berada pada jalur energi mahal terutama BBM solar dengan program sawitisasi solar, sementara Trump AS akan memangkas harga BBM hingga 50 persen dari harga sekarang untuk meningkatkan daya saing mereka.

Namun dampak negatif kebijakan AS dapat kita abaikan. Bagian terakhir statemen Donald Trump yang akan menginvestigasi kematian John F Kennedy adalah berita sangat besar bagi Indonesia. Investigasi adalah pintu masuk. Selanjutnya ini adalah berita tentang tatanan pengembalian harta amanah Indonesia yang digunakan secara manipulatif oleh elite global. Green Hilton Memorial Agreement kesepakatan yang jatuh tempo dan semua aset dikembalikan ke Indonesia. Untuk membangun Indonesia dan mungkin untuk penyerahan tanggung jawab kepada Indonesia untuk membangun kembali Jalur Gaza Palestina seperti yang dikatakan Trump. Wallahualam.()

Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi AEPI

Continue Reading

Opini

Bisakah Presiden Prabowo Keluar dari Kemelut Darurat Keuangan 2025?

Published

on

By

SITUASI keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat covid 19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang-utang sebelum covid 19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.

Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi darurat keuangan? 1) Memberlakukan tax amnesty namun gagal, 2) Memberlakukan UU darurat keuangan yakni UU Nomor 2 tahun 2020, namun justru menghasilkan kekacauan keuangan. 3) Menjual obligasi negara kepada BI di Pasar perdana justru menghasilkan utang jangka pendek yang menggunung.

BI sendiri telah memberi warning kepada pemerintah atau menagih. Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai 922,4 triliun rupiah selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.

BI harus segera mempersiapkan debt collector untuk menagih Kementerian Keuangan. Kalau tidak maka ini akan sulit bisa dibayar. Bahayanya hal ini akan meruntuhkan kepercayaan internasional kepada BI, atau lebih jauh BI akan ditaruh di bawah Kementerian Keuangan kembali?

Jalan lain bagi BI adalah berlomba dengan pemerintah menaik-naikkan suku bunga. BI menaikkan bunga SRBInya, pemerintah menaikkan bunga SBN atau SUN nya. Ini agar orang-orang mau membeli surat berharga BI dan pemerintah tersebut, dan ini akan menjadi persaingan yang gawat. Bagaimana bank-bank juga akan berlomba-lomba menempatkan uang mereka ke pada kedua pihak tersebut. Ini jelas kacau belau, rakyat makin kering, pinjaman online dengan bunga mencekik akan makin marak, perceraian marak, bunuh diri pun marak terlilit utang.

Pemerintahan pun sama. Walaupun sampai nangis bombai, Menteri Keuangan tidak akan sanggup membayar utang dan bunga utang tahun 2025 yakni bunga utang 552 triliun rupiah dan utang jatuh tempo covid 19 tadi. Memang waktu dapat duitnya Menteri Keuangan saat itu tertawa lebar. Bayangkan dengan UU darurat covid dia bisa leluasa mendapatkan uang dan leluasa berhutang.

Ini adalah kekuasaan yang sangat besar yang diberikan DPR saat itu. Saya pribadi mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan pada bulan Juni 2020 untuk meminta Menkeu menjelaskan untuk apa saja uang covid 19 itu digunakan.

Bayangkan saja utang di masa covid 19 itu (2020-2022) luar biasa besar. Tahun 2020 Menkeu ambil utang 1.193 triliun rupiah, kemudian tahun 2021 Menkeu mengambil lagi utang 871 triliun rupiah, sementara untuk tahun 2022 sebanyak 591 triliun rupiah. UU darurat memperbolehkan pemerintah ambil utang di atas 3% dari GDP.

Namun yang lebih mantap lagi adalah Menkeu boleh menggunakan uang itu sesuka-sukanya, diberikan ke bank, ke swasta dan ke BUMN. Namun sekali lagi tidak ada pertanggung jawaban yang jelas sampai hari ini, bagaimana uang itu digunakan, dan siapa saja penerimanya?

Jadi bagaimana nasib APBN kalau harus berhenti, atau shut down di tahun 2025 ini? Indonesia memang tidak mengenal sistem goverment shut down, tapi Indonesia bisa menghadapi keadaan kere keriting dan bangkrut. Legitimasi pemerintahan ini dipertaruhkan.

Di bagian lain pemerintah diprovokasi melakukan pelanggaran UU seperti UU harmonisasi peraturan perpajakan, UU APBN, dan UU lainnya. Pemerintah terus menabung pelanggaran UU dan kesalahan. Lawan terus provokasi agar pelanggaran makin banyak, lalu apa rencana mereka nantinya kalau pelanggaran menumpuk? Waspadalah!!!

Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi EAPI

Continue Reading
Advertisement

Trending