Opini
Promosi Lingkungan Untuk Proteksi Bencana

DALAM kurun waktu beberapa bulan terakhir ini terjadi bencana lingkungan yang menyita banyak perhatian publik. Kekeringan dan kelangkaan air terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa. Ironisnya di beberapa wilayah yang lain seperti di Aceh, yang terjadi justru banjir dan tanah longsor ditengah musim kemarau.
Dua bencana lingkungan yang juga banyak menarik perhatian publik yakni kualitas udara yang memburuk di Ibukota Negara Jakarta dan beberapa daerah penyangga di sekitarnya serta terbakarnya lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat yang berfungsi menampung sampah regional di Bandung Raya.
Terjadinya berbagai bencana lingkungan ini berimbas pada menurunnya produktivitas, meningkatnya ancaman gangguan kesehatan, kerugian materil dan korban nyawa manusia sampai kepada kemungkinan terjadinya berbagai kondisi darurat. Selain karena faktor pencetus, terjadinya beberapa bencana lingkungan ini merupakan refleksi dari promosi, pengawasan serta kewirausahaan pengelolaan lingkungan hidup yang masih sangat lemah.
Kualitas lingkungan hidup berbanding lurus dengan kualitas hidup manusia. Lingkungan yang berkualitas akan mendukung kualitas dan produktivitas hidup manusia. Begitu juga sebaliknya. Potret kondisi lingkungan di tanah air kita akhir-akhir ini sedang dalam tekanan berat. Berbagai bencana alam yang terjadi silih berganti terutama dalam beberapa waktu terakhir ini, memberikan penegasan bahwa kualitas dan ketahanan lingkungan sedang dalam masalah besar.
Intensitas Promosi Lingkungan
Promosi lingkungan menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masyarakat harus difahamkan secara lahir dan batin tentang pentingnya mempromosikan kualitas lingkungan hidup. Puncak dari promosi yang diharapkan adalah terbentuknya wawasan, pemahaman dan kesadaran bahwa setiap manusia merupakan khalifah atau wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk menjaga, memelihara, memperbaiki dan mengelola semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi, termasuk lingkungan hidup. Bukan sebaliknya mengeksploitasinya secara semena-mena.
Promosi lingkungan hidup harus dimulai dari tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan Pendidikan Strata Tertinggi di Perguruan Tinggi. Melalui Pendidikan diharapkan akan terbentuk kesadaran lingkungan yang paripurna di kalangan peserta didik serta kelak akan mewarnai proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan lingkungan secara bijaksana. Promosi lingkungan pada tataran penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui muatan kurikulum lingkungan, praktek dan replikasi lapang, dimana salah satu implementasinya dapat melalui penyelenggaraan Belajar/Kuliah Hijau.
Promosi lingkungan di level masyarakat dilakukan dengan menerapkan mekanisme reward and punishment. Disamping itu komitmen tentang keberlanjutan kegiatan promosi lingkungan harus bisa dipastikan. Melalui program seperti Rumah Inovasi Lingkungan diharapkan dapat menginspirasi masyarakat secara luas dalam membentuk kesadaran lingkungan yang permanen dan berkelanjutan.
Optimalisasi Pengawasan
Pengawasan pengelolaan lingkungan yang lemah akan berdampak terhadap penyimpangan penegakan disiplin dan ketaatan terhadap berbagai regulasi lingkungan. Regulasi yang bersifat administratif harus selalu disandingkan dengan kaidah-kaidah teknis yang bisa saling melengkapi. Pengawasan sebagai salah satu pilar manajemen moderen akan menjadi optimal jika diimplementasikan sesuai dengan kaidah dan filosofinya.
Filosofi pengawasan lingkungan yang hakiki adalah memposisikan pengawasan sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan. Dengan demikian kegiatan pengawasan merupakan upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang mungkin terjadi baik karena suatu upaya rekayasa maupun sebaliknya. Pengawasan jangan dimaknai sebagai suatu cara untuk mencari-cari kesalahan.
Kewirausahaan Pengelolaan Lingkungan
Strategi pengelolaan lingkungan berpotensi diimplementasikan menggunakan pendekatan kewirausahaan. Inovasi, kreasi tanpa henti harus selalu mewarnai pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dikelola dengan seksama akan memberikan benefit ekologi, sosial dan juga benefit ekonomi.
Dunia yang semakin cepat berubah harus direspon dengan inovasi dan kreasi yang adaptif terhadap perubahan. Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah saatnya direvisi. Salah satu klausul yang perlu mendapat penekanan yaitu terkait sanksi terhadap petugas lingkungan yang melakukan pelanggaran. Petugas lingkungan yang melanggar harus dihukum dua kali lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh yang bukan petugas lingkungan. Melalui terobosan regulasi dimaksud diharapkan akan terbentuk opini bahwa mengelola lingkungan hidup dengan seksama mampu menghadirkan beragam manfaat, namun sanksi berat juga menanti bagi para pelanggarnya.()
Oleh: Dr. Ir. Ishak Tan, M.Si
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti; Pegiat Lingkungan Hidup
Opini
Trump dan Jalan Pemulihan Keuangan Pemeritah AS; Nasib Indonesia Bagaimana?

SEMUA statemen Donal Trump di awal membuat dunia terkejut. Segera setelah dilantik Trump mengeluarkan pernyataan dengan level kontoversi top of the top. Dia mengatakan keluar dari WHO, dia mengatakan tidak akan memajaki gaji lembur dan pengeluaran sosial security, termasuk kesehatan, pendidikan dan semua BPJS AS. Lalu dia mengatakan akan mengakhiri konflik Ukraina Russia dan melanjutkan gencatan senjata di Gaza. Sejauh saya baca terakhir Trump menugaskan Kennedy Junior untuk menginvestigasi vaksin dan mengusut tuntas kematin John F Kennedy.
Saya sebetulnya tidak kaget karena seluruh rencana AS di masa Trump dapat dipetakan secara mudah. AS pertama-tama harus memulihkan APBN Amerika Serikat yang sekarang jebol. Maka pengeluaran negara yang merupakan penipuan seperti pengeluaran untuk WHO harus dihentikan. WHO dituduh menipu rakyat AS, sebanyak 40 persen anggaran WHO diberikan oleh pemerintah AS, namun menurut Trump dipake menghancurkan AS.
Demikian juga rencana AS yang lain juga seluruhnya ditujukan untuk menghentikan penipuan APBN AS seperti termasuk isue LGBT. Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya hanya mengakui dua jenis kelamin yakni laki laki dan perempuan, karena banyak gender akan membahayakan anggaran AS dan melemahkan ekonomi dan Industri AS. Demikian juga dengan penghentian perang Russia vs Ukraina serta perang Israel vs Palestina adalah dalam rangka menghemat belanja APBN AS. Selanjutnya AS akan menyadarkan pengeluaran yang besar untuk pembagunan pasca bencana alam yang tampaknya makin sering terjadi, untuk menggerakkan elonominya kembali.
Setelah rampung dengan masalah APBN, selanjutnya Trump bergerak masuk pada langkah kedua AS yakni memulihkan keuangan negara AS. Hal ini terlihat dari ketidak setujuan Trump pada transisi energi. Hal ini adalah pokok masalah keuangan bagi rezim petro dollar The Federal Reserve. Trump tetap ingin mengembalikan dollar sebagai mata uang tunggal dalam perdagangan global. Dolar tidak boleh digantikan dengan Cripto currency atau diigantikan atau disaingi oleh mata uang BRICS. Tentu saja transisi energi adalah ancaman bagi kekuasaan keuangan AS dan The Fed paca kegagalan Central Bank Digital Currency (CBDC).
Sanksi perdagangan akan diterapkan kepada China negara yang tidak mau menggunakan dolar AS sebagai alat tukar. Menutup jalur perdagangan Narkoba dan perdagangan illegal lainnya yang merusak ekonomi dan keuangan AS. Trump mengkampanyekan anti minuman keras, anti rokok, dan anti narkoba yang diketahuinya sebagai problem bagi Dollar.
Kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump pasti akan berdampak pada Indonesia. Terutama pada aliran investasi AS melalui Singgapore mitra utama AS lainnya, dan perdagangan Indonesia dengan AS. Mengingat Indonesia telah mengambil posisi bergabung dengan BRICS dan akan membuat mata uang sendiri menandingi dollar AS. Dampak berikutnya adalah ekspor Indonesia ke AS akan jadi masalah.
Indonesia berada dalam sikap yang berbeda soal WHO karena Indonesia justru memberi bantuan kepada WHO untuk program kesehatan Indonesia dan vaksinasi. Indonesia juga akan menutup pembangkit batubara untuk komitmen transisi energi 2060. Indonesia berada pada jalur energi mahal terutama BBM solar dengan program sawitisasi solar, sementara Trump AS akan memangkas harga BBM hingga 50 persen dari harga sekarang untuk meningkatkan daya saing mereka.
Namun dampak negatif kebijakan AS dapat kita abaikan. Bagian terakhir statemen Donald Trump yang akan menginvestigasi kematian John F Kennedy adalah berita sangat besar bagi Indonesia. Investigasi adalah pintu masuk. Selanjutnya ini adalah berita tentang tatanan pengembalian harta amanah Indonesia yang digunakan secara manipulatif oleh elite global. Green Hilton Memorial Agreement kesepakatan yang jatuh tempo dan semua aset dikembalikan ke Indonesia. Untuk membangun Indonesia dan mungkin untuk penyerahan tanggung jawab kepada Indonesia untuk membangun kembali Jalur Gaza Palestina seperti yang dikatakan Trump. Wallahualam.()
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi AEPI
Opini
Bisakah Presiden Prabowo Keluar dari Kemelut Darurat Keuangan 2025?

SITUASI keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat covid 19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang-utang sebelum covid 19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi darurat keuangan? 1) Memberlakukan tax amnesty namun gagal, 2) Memberlakukan UU darurat keuangan yakni UU Nomor 2 tahun 2020, namun justru menghasilkan kekacauan keuangan. 3) Menjual obligasi negara kepada BI di Pasar perdana justru menghasilkan utang jangka pendek yang menggunung.
BI sendiri telah memberi warning kepada pemerintah atau menagih. Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai 922,4 triliun rupiah selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.
BI harus segera mempersiapkan debt collector untuk menagih Kementerian Keuangan. Kalau tidak maka ini akan sulit bisa dibayar. Bahayanya hal ini akan meruntuhkan kepercayaan internasional kepada BI, atau lebih jauh BI akan ditaruh di bawah Kementerian Keuangan kembali?
Jalan lain bagi BI adalah berlomba dengan pemerintah menaik-naikkan suku bunga. BI menaikkan bunga SRBInya, pemerintah menaikkan bunga SBN atau SUN nya. Ini agar orang-orang mau membeli surat berharga BI dan pemerintah tersebut, dan ini akan menjadi persaingan yang gawat. Bagaimana bank-bank juga akan berlomba-lomba menempatkan uang mereka ke pada kedua pihak tersebut. Ini jelas kacau belau, rakyat makin kering, pinjaman online dengan bunga mencekik akan makin marak, perceraian marak, bunuh diri pun marak terlilit utang.
Pemerintahan pun sama. Walaupun sampai nangis bombai, Menteri Keuangan tidak akan sanggup membayar utang dan bunga utang tahun 2025 yakni bunga utang 552 triliun rupiah dan utang jatuh tempo covid 19 tadi. Memang waktu dapat duitnya Menteri Keuangan saat itu tertawa lebar. Bayangkan dengan UU darurat covid dia bisa leluasa mendapatkan uang dan leluasa berhutang.
Ini adalah kekuasaan yang sangat besar yang diberikan DPR saat itu. Saya pribadi mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan pada bulan Juni 2020 untuk meminta Menkeu menjelaskan untuk apa saja uang covid 19 itu digunakan.
Bayangkan saja utang di masa covid 19 itu (2020-2022) luar biasa besar. Tahun 2020 Menkeu ambil utang 1.193 triliun rupiah, kemudian tahun 2021 Menkeu mengambil lagi utang 871 triliun rupiah, sementara untuk tahun 2022 sebanyak 591 triliun rupiah. UU darurat memperbolehkan pemerintah ambil utang di atas 3% dari GDP.
Namun yang lebih mantap lagi adalah Menkeu boleh menggunakan uang itu sesuka-sukanya, diberikan ke bank, ke swasta dan ke BUMN. Namun sekali lagi tidak ada pertanggung jawaban yang jelas sampai hari ini, bagaimana uang itu digunakan, dan siapa saja penerimanya?
Jadi bagaimana nasib APBN kalau harus berhenti, atau shut down di tahun 2025 ini? Indonesia memang tidak mengenal sistem goverment shut down, tapi Indonesia bisa menghadapi keadaan kere keriting dan bangkrut. Legitimasi pemerintahan ini dipertaruhkan.
Di bagian lain pemerintah diprovokasi melakukan pelanggaran UU seperti UU harmonisasi peraturan perpajakan, UU APBN, dan UU lainnya. Pemerintah terus menabung pelanggaran UU dan kesalahan. Lawan terus provokasi agar pelanggaran makin banyak, lalu apa rencana mereka nantinya kalau pelanggaran menumpuk? Waspadalah!!!
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi EAPI
Opini
Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari

- Artikel ini adalah tulisan kedua dari penulis. Artikel pertama yang terbit pada tanggal 24 Oktober 2024 berjudul “Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Kerimbang Orang Kawasan Timur (Sebuah Renungan).”
- Keberhasilan Indonesia di panggung internasional membutuhkan diplomasi yang fokus, strategi jangka panjang, dan kepemimpinan yang visioner.
- Selama Indonesia tetap dalam posisi reaktif, diplomasi globalnya hanya akan menjadi hiburan bagi negara besar lainnya tanpa dampak strategis yang signifikan.
- Pertanyaan kunci: apakah Indonesia siap menjadi penabuh atau akan terus menjadi penari dalam geopolitik dunia?
PADA pekan terakhir Agustus 2023, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) ke-15 di Sandton Convention Center, Johannesburg. Saat itu, Joko Widodo menyatakan Indonesia akan mempertimbangkan keikutsertaannya sebagai anggota BRICS. Meski semua negara anggota menyetujui masuknya Indonesia dalam keanggota BRICS tetapi ditunda karena menanti terbentuknya pemerintahan baru di Indonesia melalui Pemilu 2024.
Hanya beberapa hari setelah Pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk Menlu Sugiono yang baru dilantik melakukan tugas perdana ke luar negeri sebagai utusan khusus Presiden Prabowo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.
Kemudian, pada 6 Januari 2025, Brazil sebagai pemimpin BRICS 1 Januari 2025 sampai 31 Desember 2025 mengumumkan kalau Indonesia menjadi anggota penuh BRICS. Namun, keanggota Indonesia ini tidak serta merta karena melalui proses dalam KTT Johannesburg pada 2023.
Untuk itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak terlalu mengejutkan karena indikasinya sangat jelas sejak Indonesia mengambil bagian dalam KTT BRICS. Namun, Indonesia akan dihadapkan dengan sejumlah implikasi baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi logis dari keanggotaan dalam BRICS.
Patut digarisbawahi dalam konteks BRICS, Indonesia tidak perlu terlalu berbangga diri kalau dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara penting. Hal semacam itu hal yang lumrah dalam diplomasi. Tapi, bagi Indonesia dipandang penting atau tidak, sejatinya memang penting. Negara mana yang tidak tergiur dengan sumber daya alam Indonesia? Negara mana yang tidak menelan liur dengan jumlah penduduk Indonesia yang merupakan pasar potensial? Kekuatan Indonesia ini hanya bisa dikelola dengan kepemimpinan yang terampil memainkan peran dalam tataran global.
Sayangnya, hal ini tidak terlihat dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Keberadaan Indonesia dalam BRICS tidak lebih sebagai penari yang menari di tifa yang ditabuh pihak lain. Status sebagai penari ini hanya sekadar menghibur dengan mengeksploitasi potensi diri untuk menghibur penonton dengan irama yang ditabuh Brazil, Rusia, India, China yang disusul Afrika Selatan.
Indonesia bukan pelopor, apalagi bermimpi menjadi pemain utama dalam tataran global maupun geopolitik. Dari sejumlah aliansi APEC, G20 dan sebagainya sangat jelas, Indonesia hanya sekadar ikut arus besar tanpa menjadikan diri sebagai pelopor dan penentu arah di kawasan maupun global. Bahkan, di kawasan ASEAN, kalau mau jujur, pengaruh Indonesia tidak sekuat pada masa orde baru. Lebih terkejut lagi, ketika Indonesia praktis tidak memainkan peran apapun di Kawasan Indonesia Pacifik, meskipun, secara geografis, separuh wilayah Indonesia berada dalam gugusan pasifik, demikian pula penduduknya memiliki ras yang sama dengan negara-negara Pasifik Selatan.
Justru negeri-negara besar memainkan peran yang sangat menentukan masa depan kawasan Indo Pasifik. Untuk itu, hanya dengan sikap fokus terhadap persoalan hubungan luar negeri yang memungkinkan potensi dan letak geografis Indonesia yang strategis dan kaya sumber daya alam dapat bermanfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Contoh lain, posisi Indonesia dalam menyikapi persoalan Israel-Palestina, praktis tidak bisa memainkan peran apapun, justru hanya sebatas “tukang kutuk”, seruan, imbauan dan mengirim bantuan kemanusiaan, tetapi tidak mampu berperan dalam menghasilkan solusi damai. Posisi penengah hanya mungkin dilakukan oleh pihak yang setidaknya dianggap netral, dimana omongan dan tindakan sejalan dengan politik bebas aktif.
Bahkan, secara sadar, Palestina hanya sekadar objek politik, dimana isu Palestina dikapitalisasi untuk meraih popularitas dan simpati politik dalam negeri. Di satu sisi, Indonesia begitu mencintai Palestina, sehingga tampak seolah lebih peduli ketimbang nasib sesama anak bangsa yang sangat menderita di berbagai pelosok negeri.
Hanya saja, sikap Indonesia mulai goyah, karena secara aktif berusaha untuk bergabung ke dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dimana mau atau tidak, Indonesia membutuhkan tanda tangan Israel untuk bisa diterima sebagai anggota OECD. Di sini, jelas terlihat, siapa penari dan siapa penabuh tifa.
Terlepas dari sikap kritis peran Indonesia di pentas global. Tidak terlalu keliru untuk melakukan instropeksi dari semua ini. Hipotesis sederhana: jika Indonesia masih menganut sistem kesatuan, maka politik luar negeri Indonesia hanya sebatas penari!
Sebab, hanya dengan sistem berbagai kewenangan melalui system federasi yang memungkinkan pemerintah pusat secara otomatis akan berada pada posisi outward looking, yang berorientasi kepada kawasan dan global, untuk menjangkau negara-negara lain secara efektif dan intensif. Federalsime akan memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah pusat untuk fokus menabuh tifa di tingkat global.
Sebaliknya, dalam sistem kesatuan, pemerintah pusat akan terjebak dalam dilema antara fokus ke dalam atau ke luar negeri. Tentu, idealnya, urusan luar negeri dan dalam negeri berjalan bersamaan, tetapi itu hanya ada dalam teori. Praktek bernegara selama ini sudah membuktikan, dimana persoalan pendidikan, kesehatan, kesejahetaraan, kemiskinan dan sebagainya menjadi tantangan serius bagi Indonesia.
Sementara politik luar negeri, Indonesia memainkan peran sebagai penari yang ditabuh negara-negara besar yang memang menganut sistem federal, dimana politik luar negeri merupakan “dunianya” dan tuntutan konstitusinya. Dengan sendirinya, sikap outward looking ini akan menjadikan negara-negara lain sebagai sasaran untuk memastikan kelangsungan negaranya. Bila perlu dengan menciptakan para penari melalui berbagai elemen di sebuah negara.
Untuk itu, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dan aliansi internasional apapun ibarat kambing berada dalam kandang serigala. Bermain dalam poros Amerika, juga tidak ada bedanya hanya sekadar penari. Begitu juga dalam pilihan bergabung dengan BRIC ini hanya perpindahan tabuhan irama tifa, tetapi tetap berada pada posisi penari.
Kekuatan politik luar negeri dari negara pelopor BRIC (sebelum Afrika Selatan bergabung) tidak perlu diragukan, karena memang pemerintah pusatnya memikul tanggung jawab sebagai penabuh tifa bagi negara lain. Brazil, Rusia dan India adalah federal, dimana tugas utama pemerintah pusat untuk mengurus persoalan luar negeri, sehingga tidak mengejutkan ketika negara-negara ini selalu memainkan peran dalam tataran global.
Sementara China, meski bukan federal, tetapi dengan pemerintahan sentralistis akan memudahkan fokus ke luar negeri karena pengelolaan dalam negeri terkonsolidasi melalui kekuatan terpusat.
Begitu juga, posisi Indonesia di ASEAN sangat dihormati, karena pemerintahan sentralistis orde baru lebih mudah untuk mengkonsolidasikan kestabilan di dalam negeri, sehingga memiliki energi untuk fokus pada persoalan kawasan. Namun, bisa saja, ada yang menyodorkan fakta bahwa Bung Karno pernah menjadi macan ketika menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Benar demikian adanya. Tetapi, juga tidak boleh melupakan fakta, beberapa tahun sebelum KAA, Indonesia adalah negara federal, dimana daerah mengurus rumah tangganya masing-masing, sehingga hanya mengenal istilah kepala daerah. Di kemudian hari, istilah kepala daerah dilekatkan dengan bupati/gubernur sebagai alat sentralistis pemerintah pusat.
Selain itu, di balik berkibarnya Bung Karno dalam pentas Asia Afrika Bandung, Indonesia harus menanggung konsekuensi ketika daerah tidak terurus dengan baik, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak di daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku, termasuk persoalan Papua yang tidak menemui titik temu dalam Konferensi Meja Bundar 1949.
Jadi, tuntutan zaman bukan lagi pada dikotomi sentralistis dan desentralisasi, tapi perlu menimbang sistem federasi untuk memeberikan peluang bagi pusat memainkan peran di tataran global untuk memastikan tidak kepentingan Indonesia yang dirugikan atau dieksploitasi dalam hubungan internasional. Apalagi, federal bagi Indonesia bukan hal yang tabu. Sebab, butir Pancasila mengamantkan Persatuan Indonesia, yang justru lebih federasi ketimbang kesatuan.
Untuk itu, ketika mematok NKRI dengan harga mati, bukan saja menutup peluang Indonesia bergerak maju dengan praktik yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi menempatkan Indonesia dalam posisi dilematis, dimana pada tingkat internasional memainkan peran sebagai penari, sementara penanganan urusan dalam negeri tidak beres-beres dan bergerak lambat.
Situasi ini hanya bisa didekati dengan pembagian kewenangan dalam mengelola pemerintah melalui sistem federal, sehingga pemerintah pusat mengurus urusan yang strategis bagi negera, termasuk luar negeri. Sementara urusan dalam negeri bisa dipercayakan kepada daerah untuk mengurus daerah sesuai dengan potensi yang ada.
Begitu juga, ketika Presiden Prabowo mengumumkan kabinet pada Oktober 2024, ada banyak respon positif dan negatif dalam menyikapi jumlah kabinet yang dianggap terlalu “gemuk”. Sebab, kabinet gemuk akan melahirkan masalah baru dalam koordinasi, harmonisasi, soliditas serta memiliki konsekuensi langsung terhadap anggaran negara bagi lembaga dan kementerian. Tampaknya, Prabowo menyadari adanya respon negatif, sehingga jauh-jauh hari sebelum pengumuman kabinet, Prabowo merasionalisasi kalau jumlah kabinet yang banyak merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Indonesia sebagai negara besar dari sisi jumlah penduduk dan luas wilayah. Bahkan, luas wilayah Indonesia hampir setara dengan luas Eropa Barat.
Di sisi lain, sikap kritis juga muncul di publik, yang membandingkan dengan Amerika, misalnya, yang juga memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, tetapi bisa efektif dalam menjalankan pemerintahan dengan dukungan kabinet yang relatif ramping kalau dibandingkan dengan keberadaanya sebagai negara besar.
Hanya saja, perbandingan dari para pakar dan intelektual di ruang publik, kelihatannya melupakan tata kelola negara, dimana Amerika menganut sistem federal, sehingga hanya menangani urusan yang memang strategis bagi negara. Dengan urusan yang spesifik itu menjadi logis ketika tidak membutuhkan kabinet yang gemuk.
Sebaliknya, Indonesia membutuhkan kabinet yang gemuk, karena pemerintah pusat memiliki urusan yang luas sampai ke daerah-daerah. Akibatnya, 100 menteri sekalipun akan tetap kurang, karena memang bukan kesalahan pemerintah semata, tetapi sistem bernegara yang berlaku memiliki konsekuensi seperti itu. Jadi, sedikit keliru ketika membandingkan jumlah menteri di negeri federal dengan jumlah menteri di Indonesia. Kabinet ramping hanya dimungkinkan dalam sistem federal, karena kewenangan sudah didistribusikan kepada daerah bagian.
Pemerintah daerah bisa mengurus daerahnya sendiri, tetapi tidak bisa mengurus persoalan luar negeri. Sementara pusat yang sebenarnya memainkan peran luar negeri, justru larut dalam cawe-cawe urusan yang semestinya bisa ditangani sendiri di daerah. Sekarang pilihannya ada pada semua pemangku kepentingan politik. Kalau pilihannya mau menjadi penabuh tifa pada tataran global, maka tiada pilihan lain kecuali menimbang sistem federal. Sebaliknya, kalau mau menjadi penari bagi kepentingan global, maka mainlah sebagai penari, kalau enggan disebut sebagai antek negara-negara besar, tidak peduli itu Amerika, Rusia, India, China dan sebagainya. Indonesia harus menjadi penabuh tifa dan menari bagi dirinya sendiri ataupun membiarkan negara lain menari atas irama tifa yang ditabuh Indonesia. Penabuh tifa luar negeri hanya mungkin dengan sistem federal, yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemain utamanya.()
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Pendiri dan Ketua Umum Partai Pembaruan Bangsa
-
Bodetabek6 days ago
IKWI Gelar Silaturahmi Nasional “Membangun Kebersamaan, Meningkatkan Kualitas”
-
Polhukam6 days ago
Jalankan Perintah Bupati, Satpol PP Terus Lakukan Operasi PEKAT dan Sita Peredaran Cukai Ilegal
-
Ibukota3 days ago
Kapolsek Pademangan Sosialisasi Cegah Kenakalan Remaja kepada Orang Tua Siswa SMPN 42 Pademangan Timur.
-
Polhukam4 days ago
Gelar Silaturahmi Akbar PDBN, Fathan Subchi Ajak Berbagi Kebaikan Sepanjang Waktu