Opini
PEMBENAHAN TIMNAS
PSSI dan Naturalisasi Model Perancis
"LEGIUN". Berasal dari bahasa Perancis "Legion 'etrangere", untuk konteks etnik asing yang digunakan Perancis. Sebagai petempur dalam peperangan, semasa pergolakan.
LEGIUN adalah unit militer dalam Angkatan Darat (AD) Perancis, yang didirikan tahun 1831. Mengapa ada legiun? Banyaknya wilayah jajahan Perancis, terutama di Afrika Utara. Menjadikan kebutuhan unit militer sebagai keharusan.
Jadilah legiun. Tentara Perancis yang multi-etnik. Hampir semua pertempuran, juga perang dunia akan melibatkan "Legion". Termasuk dalam legiun Perancis, orang-orang: Afrika, Serbia, Jerman, Polandia, Inggris yang meninggalkan negaranya karena sebab-musabab.
"Legionnaire" untuk menyebut para petempur tadi, bisa mengajukan diri sebagai warga negara Perancis. Setelah tiga tahun bertugas sebagai legiun (legionnaire).
Historis "legionnaire", terbawa terus sampai kini. Tidak terhenti sebatas peperangan membela kepentingan koloni Perancis.
Di dunia olahraga, terutama sepak bola, negeri yang cenderung sosialis ini, lebih "gila" lagi. Melihat skuad Timnas Perancis 2024 (lihat foto), delapan dari 11 "starting eleven", berkulit hitam adalah legiun.
Suatu kali (semasa SMP) anak saya bertanya. "Kok pemain sepak bola Perancis hampir "hitam" semua, Pah". Dalam pikirannya, Perancis terletak di Eropa. Benua Biru. Seharusnya berkulit putih.
Banyak faktor, setidaknya tiga poin penting. Sehingga Timnas Perancis, beraroma Timnas Nigeria, Maroko, Aljazair, atau Afrika Selatan.
Kebijakan negeri "guillotine", semasa Raja Louis XIV ini terhadap hadirnya pemain-pemain naturalisasi. Pertama, banyaknya orang-orang Afrika (kulit hitam) dalam legiun, yang bertempur untuk Perancis. "French by spilled blood" (menumpahkan darah), atau dalam bahasa Perancis "Francais par le sang verse".
Membuat orang-orang kulit hitam Afrika, mudah menjalani naturalisasi karena jasa-jasanya dalam legiun. Dengan naturalisasi para orangtua, atau kakeknya. Maka, keturunan berikutnya, otomatis adalah warga negara Perancis.
Bisa disebut lewat azas "ius soli" (law of The soil). Naturalisasi berdasarkan tempat kelahiran, bukan karena keturunan orangtua, atau kakeknya. Kita ambil contoh, mantan bintang Perancis 1998 Zinedine Zidane yang keturunan Aljazair (Afrika Utara). Aljazair adalah markas legiun dan jajahan Perancis.
Sementara, mengambil contoh mantan pemain dan pelatih Timnas Perancis Didier Claude Deschamps. Atau bintang Piala Eropa 1988 Michael Francois Platini. Menjadi warganegara Perancis berdasarkan keturunan orangtua. Kita sebut "Ius sanguinis".
Dua faktor lain banyaknya pemain Perancis keturunan Afrika, yaitu. Kebijakan sosialis yang terbuka, dan banyaknya wilayah jajahan Perancis. Ini menjadikan Perancis, sebagai tempat imigran terbesar Afrika di Eropa.
Perancis merasakan betul. Untuk memajukan prestasi sepakbolanya, mereka butuh Kylian Mbappe, Paul Pogba, Ousmane Dambele, N'Golo Kante, Samuel Umtiti, Presnel Kimpembe, Steve Mandanda, Dayot Upamecano, Jules Kounde, Marcus Thuram yang darah Afrikanya berasal dari pewarganegaraan sang orangtua.
Setidaknya, 15 dari 25 anggota skuad Perancis di Piala Eropa 2024 (Jerman) lalu, berdarah Afrika. Bandingkan dengan skuad berdarah Afrika Timnas Perancis di Piala Dunia 1982. Hanya dua:
‘midfielder’ Jean Tigana dan bek Marius Tresor. Prestasi Timnas Perancis saat itu, rangking 4 “World Cup”.
Setelah melakukan "Revolusi" sepakbola besar-besaran, dengan lebih mayoritas pemain berdarah Afrika, Perancis menjuarai Piala Dunia 1998 (Perancis), dan Piala Dunia 2018 (Rusia).
Federasi sepakbola Perancis, Federation Francaise de Football (FFF) tidak ragu dengan apa yang mereka rasakan terhadap sepak bola di negerinya. FFF tidak ragu melakukan naturalisasi, atau menggunakan azas "ius soli" untuk memajukan sepak bola.
Apa yang diketahui, akan dilihat. Manusia bisa merasakan, sebanyak yang dia ketahui. Kita bisa melihat sepak bola Indonesia, selepas era Sutjipto Suntoro, Anwar Ujang, Jacob Sihasale, Maulwi Saelan, Ramang.
Jepang merasakan, Jepang mengetahui, Jepang memahami sepak bola-nya seperti apa, sebelum tahun 80-an, atau lebih parah sebelum 70-an.
Revolusi sepak bola Jepang setelah Piala Dunia 1982, menghidupkan kompetisi, mendatangkan seniman-seniman sepak bola Brasil: Zico, Falcao.
Sepak bola adalah revolusi. Memahami kegagalan demi kegagalan, memahami metode demi metode yang stagnan. Imitasi terhadap metode yang berhasil, seperti dilakukan Perancis tidaklah salah.
Bahkan Jerman, Italia, Inggris, sebagai negara sepakbola besar, kini banyak dihuni oleh pemain-pemain naturalisasi dari Afrika. Melihat ke Belgia, Swedia, Swiss, tidak ketinggalan terdapat pemain-pemain kulit berwarna yang notabene adalah naturalisasi.
PSSI paham dengan prestasi Timnas yang terus menjadi "bulan-bulanan". Meski hanya berhadapan dengan tim-tim sekelas regional. Apalagi berhadapan dengan tim dari kawasan Eropa dan Amerika Selatan.
"Tiada belajar, maka tak tahu jalan yang seharusnya". Ketua Umum PSSI Erick Thohir beserta jajaran pengurusnya, mengerti sepak bola Indonesia. Harus dirubah di segala lini dengan cara lateral.
Bermain mengandalkan tenaga, lalu gagal di "finishing touch", hanya menghabiskan 'power'. Kekalahan di "injury time", sering dialami karena tidak efektif mengolah bola.
Berpulang pada kualitas kompetisi. Jepang adalah contoh produk yang lahir dari kompetisi yang baik. Ayase Ueda, Koki Ogawa, adalah produk yang lahir dari situ.
Jalan pintas PSSI. Dengan menaturalisasi sejumlah pemain dari kompetisi Eropa, tepat. Tak ada pilihan lain, di samping "berbiaya murah", sang pemain memiliki 'proud' bermain di sebuah Timnas. Simbiosa mutualisme.
Regulasi yang diinginkan pelatih Shin Tae Yong, juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir, bagus. Pemain tersebut harus memiliki "ke-indonesiaan". Artinya, ada "darah mengalir" pada si pemain. Mau setetes, dua tetes, tiga tetes. Lewat kakek, orang tua, keluarga, mereka akan dilirik untuk membela Timnas Indonesia.
Tentu saja, azas 'ius soli', atau 'ius sanguinis', termasuk yang menjadi acuan naturalisasi.
Apa yang dilakukan Perancis, apa yang dilakukan Indonesia. Bisa saja "pahit di lidah". Pro dan kontra, mengecam naturalisasi akan muncul. Kritik tajam naturalisasi, sebagai hal yang negatif tak terhindarkan.
Namun naturalisasi pemain, sangat baik untuk mengobati "penyakit" akut sepak bola Indonesia. Penyakit yang saya maksud di sini adalah. Kegagalan yang membosankan. Gagal "maning", gagal "maning". Satu kata, cukup!.
OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
Opini
Bisakah Presiden Prabowo Keluar dari Kemelut Darurat Keuangan 2025?
SITUASI keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat covid 19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang-utang sebelum covid 19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi darurat keuangan? 1) Memberlakukan tax amnesty namun gagal, 2) Memberlakukan UU darurat keuangan yakni UU Nomor 2 tahun 2020, namun justru menghasilkan kekacauan keuangan. 3) Menjual obligasi negara kepada BI di Pasar perdana justru menghasilkan utang jangka pendek yang menggunung.
BI sendiri telah memberi warning kepada pemerintah atau menagih. Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai 922,4 triliun rupiah selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.
BI harus segera mempersiapkan debt collector untuk menagih Kementerian Keuangan. Kalau tidak maka ini akan sulit bisa dibayar. Bahayanya hal ini akan meruntuhkan kepercayaan internasional kepada BI, atau lebih jauh BI akan ditaruh di bawah Kementerian Keuangan kembali?
Jalan lain bagi BI adalah berlomba dengan pemerintah menaik-naikkan suku bunga. BI menaikkan bunga SRBInya, pemerintah menaikkan bunga SBN atau SUN nya. Ini agar orang-orang mau membeli surat berharga BI dan pemerintah tersebut, dan ini akan menjadi persaingan yang gawat. Bagaimana bank-bank juga akan berlomba-lomba menempatkan uang mereka ke pada kedua pihak tersebut. Ini jelas kacau belau, rakyat makin kering, pinjaman online dengan bunga mencekik akan makin marak, perceraian marak, bunuh diri pun marak terlilit utang.
Pemerintahan pun sama. Walaupun sampai nangis bombai, Menteri Keuangan tidak akan sanggup membayar utang dan bunga utang tahun 2025 yakni bunga utang 552 triliun rupiah dan utang jatuh tempo covid 19 tadi. Memang waktu dapat duitnya Menteri Keuangan saat itu tertawa lebar. Bayangkan dengan UU darurat covid dia bisa leluasa mendapatkan uang dan leluasa berhutang.
Ini adalah kekuasaan yang sangat besar yang diberikan DPR saat itu. Saya pribadi mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan pada bulan Juni 2020 untuk meminta Menkeu menjelaskan untuk apa saja uang covid 19 itu digunakan.
Bayangkan saja utang di masa covid 19 itu (2020-2022) luar biasa besar. Tahun 2020 Menkeu ambil utang 1.193 triliun rupiah, kemudian tahun 2021 Menkeu mengambil lagi utang 871 triliun rupiah, sementara untuk tahun 2022 sebanyak 591 triliun rupiah. UU darurat memperbolehkan pemerintah ambil utang di atas 3% dari GDP.
Namun yang lebih mantap lagi adalah Menkeu boleh menggunakan uang itu sesuka-sukanya, diberikan ke bank, ke swasta dan ke BUMN. Namun sekali lagi tidak ada pertanggung jawaban yang jelas sampai hari ini, bagaimana uang itu digunakan, dan siapa saja penerimanya?
Jadi bagaimana nasib APBN kalau harus berhenti, atau shut down di tahun 2025 ini? Indonesia memang tidak mengenal sistem goverment shut down, tapi Indonesia bisa menghadapi keadaan kere keriting dan bangkrut. Legitimasi pemerintahan ini dipertaruhkan.
Di bagian lain pemerintah diprovokasi melakukan pelanggaran UU seperti UU harmonisasi peraturan perpajakan, UU APBN, dan UU lainnya. Pemerintah terus menabung pelanggaran UU dan kesalahan. Lawan terus provokasi agar pelanggaran makin banyak, lalu apa rencana mereka nantinya kalau pelanggaran menumpuk? Waspadalah!!!
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi EAPI
Opini
Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari
- Artikel ini adalah tulisan kedua dari penulis. Artikel pertama yang terbit pada tanggal 24 Oktober 2024 berjudul “Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Kerimbang Orang Kawasan Timur (Sebuah Renungan).”
- Keberhasilan Indonesia di panggung internasional membutuhkan diplomasi yang fokus, strategi jangka panjang, dan kepemimpinan yang visioner.
- Selama Indonesia tetap dalam posisi reaktif, diplomasi globalnya hanya akan menjadi hiburan bagi negara besar lainnya tanpa dampak strategis yang signifikan.
- Pertanyaan kunci: apakah Indonesia siap menjadi penabuh atau akan terus menjadi penari dalam geopolitik dunia?
PADA pekan terakhir Agustus 2023, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) ke-15 di Sandton Convention Center, Johannesburg. Saat itu, Joko Widodo menyatakan Indonesia akan mempertimbangkan keikutsertaannya sebagai anggota BRICS. Meski semua negara anggota menyetujui masuknya Indonesia dalam keanggota BRICS tetapi ditunda karena menanti terbentuknya pemerintahan baru di Indonesia melalui Pemilu 2024.
Hanya beberapa hari setelah Pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk Menlu Sugiono yang baru dilantik melakukan tugas perdana ke luar negeri sebagai utusan khusus Presiden Prabowo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.
Kemudian, pada 6 Januari 2025, Brazil sebagai pemimpin BRICS 1 Januari 2025 sampai 31 Desember 2025 mengumumkan kalau Indonesia menjadi anggota penuh BRICS. Namun, keanggota Indonesia ini tidak serta merta karena melalui proses dalam KTT Johannesburg pada 2023.
Untuk itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak terlalu mengejutkan karena indikasinya sangat jelas sejak Indonesia mengambil bagian dalam KTT BRICS. Namun, Indonesia akan dihadapkan dengan sejumlah implikasi baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi logis dari keanggotaan dalam BRICS.
Patut digarisbawahi dalam konteks BRICS, Indonesia tidak perlu terlalu berbangga diri kalau dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara penting. Hal semacam itu hal yang lumrah dalam diplomasi. Tapi, bagi Indonesia dipandang penting atau tidak, sejatinya memang penting. Negara mana yang tidak tergiur dengan sumber daya alam Indonesia? Negara mana yang tidak menelan liur dengan jumlah penduduk Indonesia yang merupakan pasar potensial? Kekuatan Indonesia ini hanya bisa dikelola dengan kepemimpinan yang terampil memainkan peran dalam tataran global.
Sayangnya, hal ini tidak terlihat dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Keberadaan Indonesia dalam BRICS tidak lebih sebagai penari yang menari di tifa yang ditabuh pihak lain. Status sebagai penari ini hanya sekadar menghibur dengan mengeksploitasi potensi diri untuk menghibur penonton dengan irama yang ditabuh Brazil, Rusia, India, China yang disusul Afrika Selatan.
Indonesia bukan pelopor, apalagi bermimpi menjadi pemain utama dalam tataran global maupun geopolitik. Dari sejumlah aliansi APEC, G20 dan sebagainya sangat jelas, Indonesia hanya sekadar ikut arus besar tanpa menjadikan diri sebagai pelopor dan penentu arah di kawasan maupun global. Bahkan, di kawasan ASEAN, kalau mau jujur, pengaruh Indonesia tidak sekuat pada masa orde baru. Lebih terkejut lagi, ketika Indonesia praktis tidak memainkan peran apapun di Kawasan Indonesia Pacifik, meskipun, secara geografis, separuh wilayah Indonesia berada dalam gugusan pasifik, demikian pula penduduknya memiliki ras yang sama dengan negara-negara Pasifik Selatan.
Justru negeri-negara besar memainkan peran yang sangat menentukan masa depan kawasan Indo Pasifik. Untuk itu, hanya dengan sikap fokus terhadap persoalan hubungan luar negeri yang memungkinkan potensi dan letak geografis Indonesia yang strategis dan kaya sumber daya alam dapat bermanfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Contoh lain, posisi Indonesia dalam menyikapi persoalan Israel-Palestina, praktis tidak bisa memainkan peran apapun, justru hanya sebatas “tukang kutuk”, seruan, imbauan dan mengirim bantuan kemanusiaan, tetapi tidak mampu berperan dalam menghasilkan solusi damai. Posisi penengah hanya mungkin dilakukan oleh pihak yang setidaknya dianggap netral, dimana omongan dan tindakan sejalan dengan politik bebas aktif.
Bahkan, secara sadar, Palestina hanya sekadar objek politik, dimana isu Palestina dikapitalisasi untuk meraih popularitas dan simpati politik dalam negeri. Di satu sisi, Indonesia begitu mencintai Palestina, sehingga tampak seolah lebih peduli ketimbang nasib sesama anak bangsa yang sangat menderita di berbagai pelosok negeri.
Hanya saja, sikap Indonesia mulai goyah, karena secara aktif berusaha untuk bergabung ke dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dimana mau atau tidak, Indonesia membutuhkan tanda tangan Israel untuk bisa diterima sebagai anggota OECD. Di sini, jelas terlihat, siapa penari dan siapa penabuh tifa.
Terlepas dari sikap kritis peran Indonesia di pentas global. Tidak terlalu keliru untuk melakukan instropeksi dari semua ini. Hipotesis sederhana: jika Indonesia masih menganut sistem kesatuan, maka politik luar negeri Indonesia hanya sebatas penari!
Sebab, hanya dengan sistem berbagai kewenangan melalui system federasi yang memungkinkan pemerintah pusat secara otomatis akan berada pada posisi outward looking, yang berorientasi kepada kawasan dan global, untuk menjangkau negara-negara lain secara efektif dan intensif. Federalsime akan memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah pusat untuk fokus menabuh tifa di tingkat global.
Sebaliknya, dalam sistem kesatuan, pemerintah pusat akan terjebak dalam dilema antara fokus ke dalam atau ke luar negeri. Tentu, idealnya, urusan luar negeri dan dalam negeri berjalan bersamaan, tetapi itu hanya ada dalam teori. Praktek bernegara selama ini sudah membuktikan, dimana persoalan pendidikan, kesehatan, kesejahetaraan, kemiskinan dan sebagainya menjadi tantangan serius bagi Indonesia.
Sementara politik luar negeri, Indonesia memainkan peran sebagai penari yang ditabuh negara-negara besar yang memang menganut sistem federal, dimana politik luar negeri merupakan “dunianya” dan tuntutan konstitusinya. Dengan sendirinya, sikap outward looking ini akan menjadikan negara-negara lain sebagai sasaran untuk memastikan kelangsungan negaranya. Bila perlu dengan menciptakan para penari melalui berbagai elemen di sebuah negara.
Untuk itu, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dan aliansi internasional apapun ibarat kambing berada dalam kandang serigala. Bermain dalam poros Amerika, juga tidak ada bedanya hanya sekadar penari. Begitu juga dalam pilihan bergabung dengan BRIC ini hanya perpindahan tabuhan irama tifa, tetapi tetap berada pada posisi penari.
Kekuatan politik luar negeri dari negara pelopor BRIC (sebelum Afrika Selatan bergabung) tidak perlu diragukan, karena memang pemerintah pusatnya memikul tanggung jawab sebagai penabuh tifa bagi negara lain. Brazil, Rusia dan India adalah federal, dimana tugas utama pemerintah pusat untuk mengurus persoalan luar negeri, sehingga tidak mengejutkan ketika negara-negara ini selalu memainkan peran dalam tataran global.
Sementara China, meski bukan federal, tetapi dengan pemerintahan sentralistis akan memudahkan fokus ke luar negeri karena pengelolaan dalam negeri terkonsolidasi melalui kekuatan terpusat.
Begitu juga, posisi Indonesia di ASEAN sangat dihormati, karena pemerintahan sentralistis orde baru lebih mudah untuk mengkonsolidasikan kestabilan di dalam negeri, sehingga memiliki energi untuk fokus pada persoalan kawasan. Namun, bisa saja, ada yang menyodorkan fakta bahwa Bung Karno pernah menjadi macan ketika menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Benar demikian adanya. Tetapi, juga tidak boleh melupakan fakta, beberapa tahun sebelum KAA, Indonesia adalah negara federal, dimana daerah mengurus rumah tangganya masing-masing, sehingga hanya mengenal istilah kepala daerah. Di kemudian hari, istilah kepala daerah dilekatkan dengan bupati/gubernur sebagai alat sentralistis pemerintah pusat.
Selain itu, di balik berkibarnya Bung Karno dalam pentas Asia Afrika Bandung, Indonesia harus menanggung konsekuensi ketika daerah tidak terurus dengan baik, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak di daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku, termasuk persoalan Papua yang tidak menemui titik temu dalam Konferensi Meja Bundar 1949.
Jadi, tuntutan zaman bukan lagi pada dikotomi sentralistis dan desentralisasi, tapi perlu menimbang sistem federasi untuk memeberikan peluang bagi pusat memainkan peran di tataran global untuk memastikan tidak kepentingan Indonesia yang dirugikan atau dieksploitasi dalam hubungan internasional. Apalagi, federal bagi Indonesia bukan hal yang tabu. Sebab, butir Pancasila mengamantkan Persatuan Indonesia, yang justru lebih federasi ketimbang kesatuan.
Untuk itu, ketika mematok NKRI dengan harga mati, bukan saja menutup peluang Indonesia bergerak maju dengan praktik yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi menempatkan Indonesia dalam posisi dilematis, dimana pada tingkat internasional memainkan peran sebagai penari, sementara penanganan urusan dalam negeri tidak beres-beres dan bergerak lambat.
Situasi ini hanya bisa didekati dengan pembagian kewenangan dalam mengelola pemerintah melalui sistem federal, sehingga pemerintah pusat mengurus urusan yang strategis bagi negera, termasuk luar negeri. Sementara urusan dalam negeri bisa dipercayakan kepada daerah untuk mengurus daerah sesuai dengan potensi yang ada.
Begitu juga, ketika Presiden Prabowo mengumumkan kabinet pada Oktober 2024, ada banyak respon positif dan negatif dalam menyikapi jumlah kabinet yang dianggap terlalu “gemuk”. Sebab, kabinet gemuk akan melahirkan masalah baru dalam koordinasi, harmonisasi, soliditas serta memiliki konsekuensi langsung terhadap anggaran negara bagi lembaga dan kementerian. Tampaknya, Prabowo menyadari adanya respon negatif, sehingga jauh-jauh hari sebelum pengumuman kabinet, Prabowo merasionalisasi kalau jumlah kabinet yang banyak merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Indonesia sebagai negara besar dari sisi jumlah penduduk dan luas wilayah. Bahkan, luas wilayah Indonesia hampir setara dengan luas Eropa Barat.
Di sisi lain, sikap kritis juga muncul di publik, yang membandingkan dengan Amerika, misalnya, yang juga memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, tetapi bisa efektif dalam menjalankan pemerintahan dengan dukungan kabinet yang relatif ramping kalau dibandingkan dengan keberadaanya sebagai negara besar.
Hanya saja, perbandingan dari para pakar dan intelektual di ruang publik, kelihatannya melupakan tata kelola negara, dimana Amerika menganut sistem federal, sehingga hanya menangani urusan yang memang strategis bagi negara. Dengan urusan yang spesifik itu menjadi logis ketika tidak membutuhkan kabinet yang gemuk.
Sebaliknya, Indonesia membutuhkan kabinet yang gemuk, karena pemerintah pusat memiliki urusan yang luas sampai ke daerah-daerah. Akibatnya, 100 menteri sekalipun akan tetap kurang, karena memang bukan kesalahan pemerintah semata, tetapi sistem bernegara yang berlaku memiliki konsekuensi seperti itu. Jadi, sedikit keliru ketika membandingkan jumlah menteri di negeri federal dengan jumlah menteri di Indonesia. Kabinet ramping hanya dimungkinkan dalam sistem federal, karena kewenangan sudah didistribusikan kepada daerah bagian.
Pemerintah daerah bisa mengurus daerahnya sendiri, tetapi tidak bisa mengurus persoalan luar negeri. Sementara pusat yang sebenarnya memainkan peran luar negeri, justru larut dalam cawe-cawe urusan yang semestinya bisa ditangani sendiri di daerah. Sekarang pilihannya ada pada semua pemangku kepentingan politik. Kalau pilihannya mau menjadi penabuh tifa pada tataran global, maka tiada pilihan lain kecuali menimbang sistem federal. Sebaliknya, kalau mau menjadi penari bagi kepentingan global, maka mainlah sebagai penari, kalau enggan disebut sebagai antek negara-negara besar, tidak peduli itu Amerika, Rusia, India, China dan sebagainya. Indonesia harus menjadi penabuh tifa dan menari bagi dirinya sendiri ataupun membiarkan negara lain menari atas irama tifa yang ditabuh Indonesia. Penabuh tifa luar negeri hanya mungkin dengan sistem federal, yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemain utamanya.()
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Pendiri dan Ketua Umum Partai Pembaruan Bangsa
Opini
Pembagian Peran Regulator dan Operator Dalam Sistem Transportasi Nasional Perkretaapian
PADA tahun 1992 pemerintah dengan persetujuan DPR menerbitkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992, tentang Perkeretaapian. Namun setelah diundangkan, Undang-undang tersebut belum mampu mengentaskan berbagai persoalan yang berlaku selama 15 tahun, 1992-2007. Karena belum mampu membangkitkan perkeretaapian, UU 13/1992 diganti dengan UU 23/2007 tentang Perekeretaapian.
Hadirnya UU 23/2007 saat itu dinilai relevan untuk menggantikan UU13/1992 yang saat itu sudah usang dan dianggap tak mampu memberdayakan perkeretaapian.
Undang-Undang yang diresmikan pada bulan Juli 2007 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu telah melahirkan banyak karya bagi perkeretaapian, khususnya untuk pembangunan prasarana rel, persinyalan, terowongan, jembatan dan jaringan listrik atas KRL, maju pesat seiring perhatian pemerintah di sektor perkeretaapian.
Sebelum lahir UU 23/2007 pada 5 Agustus 2005, pemerintah telah berusaha menjelaskan dan memisahkan dengan jelas fungsi regulator yang fokus dengan fungsi Kebijakan Pengaturan dan Pengawasan Pengujian yang ada di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) di bawah Kementerian Perhubungan.
Dengan dibentuknya DJKA sebagai pembuat kebijakan & Policy yang diatur dalam UU 23 Tahun 2007, ingin menjelaskan dan berbagi peran yang jelas bahwa DJKA fokus pada fungsi regulator melaksanakan pembangunan prasarana.
Menurut Undang-Undang jelas bahwa pemerintah bertindak selaku regulator kebijakan dan pengaturan kebijakan perkeretaapian saja clear. Fungsinya umum dari regulator adslah fungsi pengatur dan prmbuat kebijakan dalam sebuah permainan layaknya wasit dan pengatur pertandingan agar semua pemain operator bermain dengan fair dan clear – clean yang selama ini sudah dijalakan dengan baik.
Pemerintah sebagai regulator perkeretaapian juga sebagai kuasa anggaran dari APBN untuk membangun prasarana perkeretaapian. Sebagai kuasa anggaran, regulator berkuasa untuk mensupport dan membangun prasarana, menentukan dan memberikan subsidi angkutan perintis dan susbsidi untuk angkutan perkotaan, KRL Jabotabek, KA jarak jauh serta KA Lokal serta LRT. Selain itu juga diharapkan KA Bandara dan KA Cepat yang semua merupakan penugasan penting dari negara dan rakyat pada BUMN saat ini di berbagai daerah.
Dukungan Anggaran Sebagai PSO
Dalam UU 23/2207 juga diatur untuk perawataan jalan. Karena prasarana jalan rel, persinyalan dan lainnya merupakan aset dan milik pemerintah, regulator wajib menyerahkan aset pada operator, merawat aset prasarana tersebut. Sehingga berbagi peran antara regulator dan operator sangat jelas sesuai ketentuan dalam Undang-Undang.
Selanjutnya regulator juga telah dengan baik menyiapkan anggaran pemeliharaan jalan rel yang dikenal dengan infrastrukur maintenance Operation (IMO) dan akan terus ditingkatkan sesuai kebutuhan dan riil sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan di mana perawatan seluruhnya dilakukan oleh operator.
Dalam prakteknya pelaksanaan UU 23/2007 belum sepenuhnya sempurna dilaksanakan namun Alhamdulillah regulator yang telah berhasil membangun sejumlah proyek perkeretaapian di Jawa, Sumatera hingga Sulawesi Selatan selalu menjadi wasit yang baik untuk operator dan setiap prasarana yang dibangun diserah terima operasikan kepada badan usaha sebagai operator sebagaimana amanat Undang-Undang dengan tetap berfungsi sebagai regulator atau wasit yang baik yang tidak menjelma juga sebagai pemain. Regulator jelas pembuat kebijakan dan wasit agar permainan selalu fair.
Operator Terbaik
Saat ini kinerja PT KAI sedang pada masa yang terbaik sejak dirintis pada awal perubahan status Perumka menjadi Persero hingga era Transformasi zaman kepemimpinan di bawah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan juga dilanjutkan oleh kepemimpinan yang berkelanjutkan saat ini dalam masa puncak kemajuan dan pelayanan pada masyarakat dan siap ditingkatkan lagi.
Sebagai transformasi layanan secara digital dan terdapat aspek AI di dalamnya, PT KAI siap melaksanakan tugas sebagai operator kereta api terbaik di dunia. Bahkan banyak saksi dari warga negara asing yang menyaksikan pengelolaan kereta api di Indonesia bahkan mengalahkan layanan di negara adikuasa seperti Amerika Serikat.
Sebagai operator yang mengoperasikan sarana di atas rel milik pemerintah, di bawah kebijakan dan regulasi pemerintah dengan fungsi seperti diatur dalam Undang- Undang, PT KAI sudah menjalankan fungsinya sebagai operator dengan baik untuk melayani masyarakat dan negara dengan rekor mengangkut 421.7 juta penumpang dan 63 juta ton barang.
Dimana secara market share nasional cukup signifikan dalam mengatasi kelancaran traffic nasional dan menduking solusi sistem logistik nasional terutama di masa angkutan puncak long week end seperti angkutan Natal dan Tahun Baru serta angkutan Lebaran yang efisien.
Hal ini membuat masyarakat nyaman aman selamat sampai tujuan dan mengatasi solusi lingkungan terbaik dari operator terbaik di Indonesia. PT KAI sudah mampu jadi contoh dan pattern pola terbaik dalam pengelolaan dan layanan terbaik untuk moda angkutan lain di Asia Tenggara. Jadi tidak ada alasan untuk menghadirkan operator lain yang lebih sukses daripada PT KAI, juga tak ada alasan untuk perbaikan dari sisi manajerial. Karena justru manajemen moda angkutan lain banyak yang belajar dari transformasi manajemen perkeretaapian yang ada saat ini.
Pemerintah telah berhasil dan sukses membangun prasarana stasiun kereta api di Jabotabek dan di Jawa Sumatera dengan baik dan sukses. Regulator lebih dikenal sebagai pembuat kebijakan dan yang melaksanakan pembangunan prasarana yang dalam hal ini dibangun oleh Kementrian Perhubungan dan Kementerian PU yang selanjutnya diserahkan kepada BUMN sesuai ketentuan dalam Undang-Undang agar benar-benar terbagi dan pembagian yang jelas antara regulator dan operator.
Dan sebagai operator BUMN KAI saat ini memberikan pelayanan prima dengan produk-produk inovatifnya. Jelas di sini pemisahan dan pembedaan yang clear and clean antara regulator dan operator tidak ada campur tangan dan tiada intervensi apapun dan saling menjaga fungsi masing-masing.
Seharusnya regulator dan operator berperan secara jelas dalam pemisahan dan pembedaan, jangan ambigue atau saling intervensi.
Masih Belum Sempurna
Apakah Undang-Undang 23/2007 telah sesuai dengan peran masing-masing antara regulator dengan operator. Ada beberapa hal yang masih belum sempurna dari UU 23/2007, diantaranya perlu penegasan, pengaturan peran regulator dalam proyek pekerjaan sipil, sehingga regulagor tidak masuk ke wilayah operator. Regulator cukup memberikan arahan, kebijakan dan evaluasi dalam pembangunan dan pemeiliharaan prasarana perkeretaapian.
Sementara solusi untuk penugasan perawatan prasarana bahkan pembangunan bisa dikerjakan oleh holding BUMN atau badan usaha, badan penyelenggara atau operator yang terbaik. Saat ini yang berfungsi sebagai operator dan berintegritas yang tidak pernah berhadapan dengan persoalan hukum adalah PT KAI. Bila berbentuk badan layanan umum (BLU), belum tentu berjalan dengan baik dibandingkan hasil nyata oleh operator saat ini yang sudah punya kisah sukses panjang.
Dengan demikian peran regulator dalam proyek bisa didelegasikan, jadi regulator memberikan penugasan pada operator dan direvitalisasi serta dikuatkan dalam perusahaan BUMN sebagai holding yang terintegrasi. Pemeliharaan prasarana operasional saat ini dilaksanakan oleh KAI. Setiap tahun regulator melakukan penugasan pada operator terbaik saat ini yaitu KAI.
Solusinya KAI nantinya menjadi holding yang membawahi berbagai fungsi sebagai pengelola sarana, prasarana dan aset row semuanya dijadikan satu bagian dari operator terbaik saat ini. Kementerian BUMN saat ini sedang mempertimbangkan dan mengevaluasi untuk berusaha menggabungkan perusahaan satu kluster dalam holding BUMN di bawah koordinator KAI sebagai induk dan lead-nya.
Jadi kesimpulannya, regulator sudah menjalankan fungsi dengan baik dan BUMN Perkeretaapian juga sudah membuktikan experience nya dalam best praktisnya yang sudah berhasil dijalankan oleh operator saat ini Sehingga perlu terus dikaji dan direkomendasikan untuk dikuatkan pembentukan Badan Usaha Perawatan Sarana (BUPS), Badan Usaha Perawatan Prasarana (BUPP), dan BUP untuk Aset ROW eksisting dalam satu naungan manajemen Holding BUMN terbaik saat ini seiring pembenahan dengan solusi manajemen holdingisasi dari Kemetrian BUMN.
Sehingga regulator tidak perlu repot-repot terjun sebagai operator pemeliharaan prasarana, sarana dan aset ROW. Karena aspek manajemennya sudah dijalankan secara baik oleh operator dan cukup masing-masing menghormati sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang.
Regulator sendiri sudah sangat sukses sebagai pengatur, pembuat policy and rule. Pemerintahan sebagai pembuat kebijakan (regulator) fokus di kebijakan dan Badan Penyelenggara yang sudah berjalam saat ini sebagai eksekusi kebijakan fokus sebagai operator yang sekarang sudah menjalankan fungsinya yang baik ditingkatkan dan dilanjutkan dengan dukungan pemerintah.
Demikian sekelumit wacana untuk perkeretaapain Indonesia yang lebih baik, modern, transformatif, adaptif dan semakin maju dalam melayani rakyat…. Merdeka.()
Oleh: Edi Suryanto, Presiden Federasi SP Perekeretaapian & Ketua Umum Serikat Pekerja Kereta Api
-
Ibukota2 days ago
Balon Rt, Pake Ijasah Paket C. Jalur Kilat, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, diminta Turun Tangan.
-
Peristiwa2 days ago
Gubuk Liar di Kolong Tol Pademangan Ditertibkan Aparat Gabungan.
-
Ibukota2 days ago
Kepala SMA Islam Al-Azhar Kelapa Gading: Alkafest 2024 Digelar Untuk Rayakan Kreativitas, Prestasi, dan Kepedulian Sosial Pelajar
-
Ibukota5 days ago
Pemprov DKI Jakarta Pastikan Penetapan Dewan Kota/Dewan Kabupaten 2024-2029 Sesuai Prosedur