Polhukam
Pangkoarmada I Pimpin Serah Terima Jabatan Danlantamal IV

Dalam acara tersebut, Pangkoarmada I mengatakan “Serah terima jabatan di lingkungan TNI Angkatan Laut merupakan regenerasi kepemimpinan dan penghargaan yang diberikan oleh pimpinan TNI Angkatan Laut kepada perwira yang dipercaya untuk mengemban suatu jabatan yang mana merupakan bagian dari rangkaian Tour of Duty dan Tour of Area di lingkungan TNI Angkatan Laut” ungkapnya.
“Hal ini menggambarkan dinamika pembinaan personel dengan harapan mampu membawa penyegaran dalam organisasi dengan memunculkan ide dan pemikiran baru demi kemajuan suatu organisasi” lanjutnya.
Pangkoarmada I juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pejabat yang lama, selamat menempati jabatan yang baru semoga lebih sukses dalam penugasan yang baru sebagai Kapoksahli Pushidrosal, terima kasih atas kerjasama yang telah diberikan selama menjabat di lingkungan Koarmada I. Kepada pejabat baru selamat datang dan selamat bergabung serta segera dapat menyesuaikan dengan dinamika dan situasi yang ada, tambahnya.
Pelaksanaan sertijab dilaksanakan sesuai tata acara yang telah ditetapkan pada masa pandemi covid-19. Ketentuan protokol kesehatan Covid-19 seperti menjaga jarak, menggunakan masker dan sarung tangan, pengecekan suhu, serta melaksanakan test swab antigen menjadi bagian dari persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan acara.(Red)
Polhukam
Tempo Degradasi Upaya 120 Juta Petani untuk Sejahtera

Jakarta, Hariansentana.com – Direktur Eksekutif Center for National News Studies (CN2S), Angga Putra Devi menilai narasi media Tempo tentang sektor pertanian cenderung menyerang alias tendensius. Ia menilai narasi yang diangkat Tempo berpotensi memadamkan semangat petani yang tengah berjuang meningkatkan produksi demi terwujudnya swasembada di Indonesia.
Secara tidak langsung, kata Angga, Tempo telah mendegradasi upaya 120 juta petani dalam meningkatkan kesejahteraannya. “Sehingga saya bertanya? Apakah selama ini tempo mendukung mafia pangan dan impor. Sebab tempo telah menggagalkan petani sejahtera dengan omset Rp500 triliun,” ujar Angga, Jumat, 19 September 2025.

Menurutnya, gugatan perdata Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap Tempo atas unggahan visual “Poles-poles Beras Busuk” (16 Mei 2025) dinilai sebagai langkah yang proporsional dalam sengketa pers. “Pilihan perdata menunjukkan penghormatan Kementan terhadap kemerdekaan pers, meski secara hukum materi yang dimiliki cukup untuk dijadikan laporan pidana,” katanya.
Sementara itu berdasarkan catatan CN2S, Angga menyebut kasus ini bukan yang pertama, di mana pada pada 2019 Tempo juga dinyatakan melanggar etik Dewan Pers melalui PPR No. 45/PPR-DP/X/2019 terkait artikel ‘Gula-gula Dua Saudara’. Pada saat itu, Kementan juga membawa kasus ini ke jalur hukum tapi kemudian dibatalkan.
“Sehingga bisa dikatakan tempo ini seperti residivis di mana kesalahan kesalahan sebelumnya terus diulang demi agenda tertentu,” katanya.
Angga menambahkan langkah mengajukan gugatan hukum perdata yang diambil oleh Kementan sudah tepat. Apalagi sebelumnya Kementan sudah mengambil jalur pengaduan melalui Dewan Pers sebagai representasi dari swa regulasi.
“Disini publik juga harus tercerahkan mana yang dikaksud dengan produk jurnalistik dan mana yang bukan. Sebab semua sudah tertera dalam aturan dewan pers,” ungkapnya.
Diketahui, Indonesia tahun ini memiliki surplus beras, di mana cadangan beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog juga melimpah dengan kualitas baik. Hengki menganggap wajar karena yang dipertaruhkan Kementan bukan semata soal reputasi institusi atau personal Menteri Pertanian, namun semua ini dilakukan untuk melindungi kepentingan petani.
“Yang pasti publik layak mendapat pemberitaan yang akurat, bukan framing yang melemahkan semangat petani,” jelasnya.(*)
Polhukam
Diona Christy Silitonga Karyawan Bank JTrust Ngaku Sahabat Korban, TPPU Padahal Tidak Kenal

Jakarta, Hariansentana.com – Sidang pembacaan pembelaan (Pledoi) perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melibatkan terdakwa Diona Christy Silitonga, dilanjutkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (18/9/2025).
Selain pembacaan pledoi penasehat hukum, juga membacakan pledoi pribadi terdakwa Diona Christy Silitaonga. Dalam pledoi pribadinya disebutkan terdakwa dengan korban TPPU sudah lama kenal. Namun apa yang disamapikan terdakwa merupakan “kebohongan” yang luar biasa, karena terdakwa mengaku sebagai sahabat korban, pada hal tidak kenal sama sekali, tapi hanya kenal dari orang lain dan sebatas kenal. Hal itu disampaikan MCHST korban TPPU 1,6 miliar rupiah, pada Media.
Usai pembacaan pledoi terdakwa,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, pimpinan Hasmy didampingi Iwan Irawan dan Merauke Sinaga, yang menyidangkan dan mengadili perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), “marah dan kesal” melihat terdakwa yang ditengarai berpura pura mengeluarkan air mata (menangis) saat membacakan nota pembelaan (Pledoi) pribadinya terhadap tuntutan Jaksa.
Terdakwa Diona Christy Silitonga, warga Swasembada, Kebon Bawang, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara itu, di sebut sebut sebagai pelayan di gereja. Terdakwa dituntut Jaksa Melda Siagian, selama 10 tahun penjara denda 200 juta rupiah, subsider 6 bulan kurungan, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Dalam Pledoi pribadi terdakwa disebutkan, bahwa antara terdakwa dan korban merupakan teman lama. Uang korban digunakan untuk membiayai orang tuanya dan pengobatan orang tua terdakwa. Sembari menangis, terdakwa mengaku merupakan tulang punggung keluarga, lalu meminta maaf terhadap korban dan minta keringanan kepada Majelis Hakim.
Menanggapi tangisan pembacaan pembelaan terdakwa, anggota Majelis Hakim Merauke Sinaga menegur terdakwa Diona Chisty Silitonga, “Disini bukan tangis dan air mata, tapi pembuktian yuridis. Uang korban dikemanakan saja, tanya hakim ?, Terdakwa menjawab, dipake membiayai keluarga dan pengobatan ibu saya”. Kata Majelis, “kalau berbuat bayarlah, masa mengambil uang orang sampai miliar miliaran”, ucap Merauke.
Menanggapi nota pledoi terdakwa korban mengatakan, pledoi terdakwa Diona Christy Silitonga berisi kebohongan yang luar biasa, karena terdakwa mengaku sebagai sahabat korban, padahal hanya kenal dari orang lain dan sebatas kenal.
Saat orang tua terdakwa masih hidup kami sudah menemui ibunya terdakwa sebelum meninggal bersama Lawyer dan Satpam Bank JTrust. Dihadapan kami yang datang, ibu terdakwa mengatakan, terdakwa Diona Chisty Silitonga tidak pernah memberikan uang kepada ibu nya, hanya sesekali sejuta perbulan. Sehingga, nota pembelaannya terdakwa bohong yang menyatakan uang korban untuk biaya rumah sakit ibunya”, ucap keluarga korban.
Disampaikan, dalam persidangan pembacaan pledoi di hadapan Majelis Hakim, terdakwa mengakui dan mengetahui secara sadar perbuatannya tersebut dan Hakim anggota mengatakan dengan jelas ini bukan persidangan air mata, kalau sudah mengetahui perbuatannya berarti dia harus bertanggung jawab, ucap Hakim anggota Merauke Sinaga.
Dengan tegas korban menyampaikan, bahwa terdakwa seorang pemuka agama “pendeta muda” yang seharusnya mengajak masyarakat untuk berbuat baik tetapi malahan sebaliknya dan mencontohkan kejahatan makanya sudah sepantasnya terdakwa diberikan hukuman maksimal agar tidak memanfaatkan statusnya sebagai pendakwah untuk menipu banyak orang lain lagi kedepannya.
Terdakwa merupakan seorang pegawai Perbankkan, yang mengetahui peraturan perbankkan dengan pasti, tetapi tetap melanggarnya untuk kepentingan pribadi maka sudah sepantasnya Diona Christy Silitonga dihukum maksimal agar tidak berpotensi lagi untuk menipu 286 juta masyarakat Indonesia, ungkap keluarga korban.
Terdakwa sama sekali tidak pernah melakukan pembayaran dan beretikat baik seperti yang dia bacakan, karena terdakwa sama sekali tidak pernah meminta maaf secara tulus kepada pelapor, terbukti karena sering sekali berbohong selama kasus ini berjalan.
Diano Christy Silitonga, telah melakukan pidana dengan nyata, dimana secara undang undang jelas telah melakukan perbuatan dengan sengaja dan Diona sangat mengetahui kalau perbuatannya salah. Sangat tidak dibenarkan apabila terdakwa menyalahkan saksi Pelapor ikut mendukung perbuatannya, justru pelapor dikelabui terdakwa dengan sikap seolah olah orang baik dan pemuka agama.
Saat dipenyidikan, penyidik memberitahukan terdakwa pernah memberikan cek kepada penyidik yang katanya untuk membayar uang pelapor, ternyata itu cek kosong dan terdakwa menipu penyidik juga.
Didepan keluarga dan jaksa serta pengacaranya, terdakwa menjanjikan akan membayar lunas uang pelapor dengan menunggu pencairan emas dari tantenya (Feby) yang sedang proses di Bea Cukai, ternyata terdakwa melalui Kuasa Hukumnya berbohong lagi dan lagi, karena niatnya untuk mengembalikan uang korban tidak benar dan tidak pernah terjadi. Terdakwa dan Kuasa Hukumnya berbohong dalam hal pengembalian uang ini berulang ulang baik kepada penyidik ataupun jaksa.
Didalam pledoi pribadinya yang dibacakan sendiri dihadapan Majelis Hakim, dengan jelas terdakwa mengakui perbuatannya hanya memiliki alasan alasan yang sudah kita bantahkan. Tetapi dalam Pledoi Penasehat Hukumnya disebutkan, terdakwa seharusnya bebas karena Jaksa mengada ada tuntutan. Sehingga jelas sekali antara Pledoi pribadi dan Pledoi Penasehat Hukumnya sangat bertolak belakang dan terkesan Penasehat Hukumnya tidak memahami duduk perkara, sebab Penasehat Hukum yang membacakan Pledoi adalah Penasehat Hukum yang baru, dimana Penasehat Hukum terdakwa selalu ganti ganti.
Bukan hanya itu saja, Terdakwa didalam nota Pledoinya ditengarai telah melakukan fitnah keji terhadap pelapor. Sangat jelas disini bahwa sifat terdakwa bertolak belakang dengan statusnya sebagai pendeta, dari pembacaan pledoi ini juga terlihat bahwa terdakwa “keras hati, penipu, angkuh dan serakah”, karena menyerang pelapor yang sudah dirugikan secara materi dan mental selama ini, tetapi tetap melakukan fitnahan sampai sekarang serta tidak merasa menyesal sedikitpun atas perbuatannya.
Oleh karena semua perbuatan yang jelas jelas telah merugikan korban, sehingga sudah sepantasnya terdakwa yang tidak berubah tersebut mendapatkan hukuman maksimal agar terdakwa dapat merenungkan perbuatannya di dalam tahanan, sehingga terdakwa tidak memiliki niatan jahat lagi untuk menipu 286 juta penduduk Indonesia.
“Kami memohon kepada Majelis Hakim untuk bisa memahami hal ini dan memberikan keadilan bagi korban dan menyelamatkan 286 juta penduduk Indonesia dari potensi kejahatan yang mungkin akan dilakukan terdakwa lagi apabila terdakwa tidak dihukum maksimal”, ungkap keluarga korban.
Penulis : Sutarno
Polhukam
Keluarga korban tabrak lari kecewa JPU hanya tuntut pelaku 1,6 Tahun

Jakarta, Hariansentana.com. – Sidang ke 7 kasus tabrak lari yang merenggut nyawa S (82th) yang menjadi korban kelalaian di jalan lingkungan perumahan Gresinda Rw.10 kelurahan Kapuk Muara Kecamatan penjaringan kota administrasi Jakarta Utara saat sedang jogging, memasuki babak krusial di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (18/09/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahman membacakan tuntutan yang membuat keluarga korban tidak hanya kecewa, tetapi juga meradang. Bagaimana tidak, Ivon(65th), terdakwa dalam kasus ini, hanya dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara potong tahanan. Sebuah tuntutan yang dianggap terlalu ringan dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Suasana haru dan amarah bercampur menjadi satu di ruang sidang. Ali Said Keluarga S, yang setia mengikuti jalannya persidangan sejak awal, tak mampu menyembunyikan kekecewaan mereka usai mendengar tuntutan JPU. suara Gaduh , dan emosi dari wajah-wajah yang berduka.
“Kami sangat kecewa berat dengan tuntutan JPU. Fakta hukum sudah jelas membuktikan bahwa terdakwa bersalah menyebabkan papih kami meninggal dunia dengan cara yang tragis,” ungkap Haposan salah satu anak korban, dengan nada suara bergetar menahan emosi.
“Apakah nyawa seorang manusia hanya dihargai 1,6 tahun penjara? Ini tidak adil!” cetusnya.
Haposan menambahkan, majelis hakim dalam beberapa persidangan sebelumnya juga telah memberikan indikasi bahwa terdakwa memang terbukti bersalah. Oleh karena itu, tuntutan yang diajukan JPU dianggap sebagai bentuk ketidak pedulian terhadap penderitaan keluarga korban.
“Kami merasa keadilan telah dibutakan. Tuntutan JPU ini meremehkan arti penting kehidupan seseorang. Kami datang ke pengadilan ini untuk mencari keadilan, bukan untuk menerima kekecewaan yang mendalam,” lanjut Haposan dengan suara menahan emosi.
Linda seorang wanita merupakan anak mantu dari S, tak kuasa menahan isak tangis saat diwawancarai awak media usai persidangan. Dengan suara lirih dan mata sembab, ia mengungkapkan kekecewaan hatinya yang mendalam.
“Papih adalah sosok yang sangat kami cintai. Beliau selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada kami semua. Kehilangan beliau adalah pukulan yang sangat berat bagi keluarga kami,” ujarnya suara bergetar.
Linda melanjutkan, “Saya tidak mengerti mengapa terdakwa hanya dituntut hukuman yang begitu ringan. Apakah hukum di negara ini sudah tidak ada keadilan? Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Papih tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jahat banget… -banget,” ucapnya sambil terisak dan menghapus air matanya.
Kasus tabrak lari ini bermula ketika Ivon (65th) diduga melakukan tindakan ceroboh dan tidak bertanggung jawab dengan menabrak S (82th) saat sedang jogging di jalan Perumahan Grisenda RW. 10,Kapuk Muara,Jakarta Utara pada (9 Mei 2025) lalu. Akibat insiden tersebut, S mengalami luka parah di sekujur tubuhnya dan menghembuskan nafas terakhir di RS PIK pada 11 Mei 2025 setelah menjalani perawatan intensif di ruang ICU.
Saat ini, Ivon berstatus sebagai tahanan kota dan dijerat dengan pasal berlapis terkait kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Namun, tuntutan ringan yang diajukan JPU telah memicu protes dari keluarga korban, serta pertanyaan tentang efektivitas sistem hukum di Indonesia dalam memberikan keadilan bagi para korban, di lingkungan tempat tinggal yang seharusnya aman dan nyaman untuk berolahraga.
Keluarga korban berharap majelis hakim yang menyidangkan kasus ini dapat bertindak bijaksana memberikan tuntunan yang seadil-adilnya, sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Mereka juga memohon perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Komisi Kejaksaan, Mahkamah Agung, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum, serta masyarakat luas, untuk mengawal jalannya persidangan ini hingga tuntas.
“Kami tidak akan menyerah dalam mencari keadilan bagi papih kami.akan terus berjuang hingga pelaku tabrak lari mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Kami berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pengendara agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab, terutama di lingkungan perumahan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang, bahkan saat berolahraga pagi,” tegas Haposan penuh keyakinan.
Keluarga korban berharap vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim nanti dapat memberikan rasa keadilan bagi mereka, serta menjadi peringatan keras pelaku, bahwa kelalaian dan tindakan tidak bertanggung jawab di jalan, bahkan di lingkungan perumahan sekalipun, memiliki konsekuensi hukum yang serius, terlebih jika sampai merenggut nyawa seseorang yang sedang beraktivitas.(Sutarno)
-
Ekonomi6 days ago
AKAS DAO mempelopori DeFi 4.0 dengan kripto AS Token
-
Polhukam4 days ago
Diona Christy Silitonga Karyawan Bank JTrust Ngaku Sahabat Korban, TPPU Padahal Tidak Kenal
-
Polhukam5 days ago
Karyawan Bank JTrust, Diona Christy Silitonga Dituntut 10 Tahun Penjara Cairkan Uang Nasabah Tanpa Prosedur
-
Polhukam4 days ago
Keluarga korban tabrak lari kecewa JPU hanya tuntut pelaku 1,6 Tahun