Connect with us

Nasional

Didampingi Wadanjen Kopassus Presiden Jokowi Tinjau Posko Pengungsian Korban Gempa Cianjur

Published

on

Cianjur, Hariansentana.com  – Wadanjen Kopassus Brigjen TNI Deddy Suryadi dampingi Presiden RI Joko Widodo saat meninjau posko Kopassus untuk pengungsian korban gempa Cianjur di Desa Cijedil,

Kecamatan Cigenang salah satu lokasi terparah gempa bumi Cianjur, Jawa Barat, Kamis (24/11/2022).

Selain itu, Presiden Jokowi juga membagikan sembako, sarung dan bantuan dana untuk perbaikan rumah kepada warga Cijendil. Dalam kunjungannya Presiden didampingi oleh sejumlah menteri dan aparat pemerintah.

Setibanya ditenda pengungsian Kopassus, Presiden Jokowi langsung berinteraksi berdialog dengan warga dengan mengunjungi tiap tiap tenda, ada enam tenda besar di Posko Kopassus. Kepada warga Presiden menerangkan bahwa pemerintah memberikan sumbangan kepada masing masing Kepala Keluarga sebesar 50 juta rupiah untuk membangun kembali rumah mereka yang hancur karena gembabumi beberapa hari lalu.

Presiden juga memberikan makanan siap saji berupa nasi dan ayam CFC. Setelah berdialog dengan para korban gempa, Pesiden Jokowi kembali meninjau ke lokasi pengungsian gempa yang tetsebar di beberapa lokasi lainnya.

Wilayah Cigenang merupakan kawasan terdampak gempa paling parah yang mengalami longsor parah dan sebagian jalan raya jalur utama Cianjur-Puncak terputus.

Di posko gempa Kopassus terdapat 1800 pengungsi yang terdiri dari seribu orang dewasa dan delapan ratus anak anak dan balita.

Para pengungsi tersebut ditempatkan pada enam tenda besar yang telah disiapkan oleh prajurit Kopassus. Selain perlengkapan medis, Kopassus juga mendirikan dapur umum untuk makan para pengungsi.(Red)

Nasional

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Idrus Sindir Balik Ribka Tjiptaning

Published

on

JAKARTA, SENTANA — Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Idrus Marham, menilai komentar Ribka yang menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat” adalah bentuk penilaian emosional yang mengabaikan fakta sejarah.

Menurut Idrus, warisan pembangunan dan stabilitas nasional yang ditinggalkan Soeharto tidak bisa dihapus hanya karena perbedaan pandangan politik.

“Golkar tidak akan mundur satu langkah pun. Jasa Pak Harto bagi bangsa ini nyata, tidak bisa dihapus dari sejarah. Perdebatan boleh terjadi, tapi fakta sejarah tidak bisa dibantah,” ujar Idrus kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/11).

Sebelumnya, Ribka Tjiptaning secara tegas menolak rencana pemberian gelar tersebut. Ia bahkan menyebut Soeharto tak layak menjadi pahlawan nasional karena dianggap sebagai pelanggar HAM berat.

“Kalau pribadi, oh saya menolak keras. Apa sih hebatnya Soeharto itu sebagai pahlawan, hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” kata Ribka di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (28/10).

Pernyataan itu menuai tanggapan keras dari kubu Golkar. Idrus menilai, komentar Ribka mencerminkan sikap yang tidak proporsional terhadap sejarah bangsa.

“Kami hormati pandangan Bu Ribka dan teman-teman yang menolak, tapi jangan menutup mata terhadap kontribusi besar Pak Harto. Stabilitas nasional, pertanian, industrialisasi, pendidikan, dan pembangunan ekonomi modern dimulai di era beliau,” kata Idrus.

Ia menegaskan, tidak ada pemimpin yang sempurna, termasuk Soeharto. Namun, kata Idrus, menolak gelar pahlawan dengan alasan politik justru menunjukkan sikap yang tidak objektif terhadap perjalanan sejarah bangsa.

“Sejarah tidak bisa dihapus dengan emosi politik. Kalau kita ingin adil, lihatlah secara utuh—ada sisi kelam, tetapi juga ada kontribusi besar terhadap kemajuan Indonesia,” tambahnya.

Polemik ini muncul setelah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menemui Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025). Dalam pertemuan itu, Golkar secara resmi menyampaikan aspirasi agar Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

“Bapak Presiden menerima aspirasi dari Golkar tentang permohonan agar Pak Harto menjadi Pahlawan Nasional,” kata Bahlil.

Presiden Prabowo, menurut Bahlil, merespons positif dan akan mempertimbangkan usulan tersebut melalui mekanisme internal pemerintah.

Dari data Kementerian Sosial, Soeharto termasuk dalam 40 tokoh yang diusulkan menerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Namun, nama Soeharto menjadi yang paling kontroversial, memicu gelombang penolakan dari lebih dari 500 akademisi, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat. Mereka menilai, pelanggaran HAM dan praktik korupsi di masa Orde Baru belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral.

Menanggapi itu, Idrus menegaskan Golkar tetap menghormati perbedaan pandangan, tetapi menyerukan agar bangsa ini belajar melihat sejarah secara proporsional.

“Kami hormati yang menolak, tapi jangan abaikan fakta sejarah. Penghormatan terhadap jasa Pak Harto bukan glorifikasi, tapi pengakuan terhadap bagian penting perjalanan bangsa ini,” pungkasnya.

Dengan pernyataan keras itu, Golkar tampak bertekad mengawal penuh usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, meski arus penolakan publik semakin deras.

Continue Reading

Polhukam

Terkuaknya Serangkaian Dusta dari Fakta Persidangan CMNP Lawan Hary Tanoe dan MNC

Published

on

By

 
 
Jakarta, Hariansentana.com – Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendadak hening ketika sosok pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka, naik ke kursi saksi, Rabu, 15 Oktober 2025. Di hadapan majelis hakim yang berseragam hitam toga dan berkalung emas lambang keadilan, pria berkacamata itu menarik napas panjang sebelum memulai kesaksiannya.
 ”Saya telah berulang kali menolong Hary Tanoe, bahkan membantu permodalan bisnisnya sejak tahun 1994–1995,” ujarnya, dengan suara berat menahan emosi. ”Namun justru saya yang dizalimi berulang kali.”
 
Ia bercerita panjang tentang jejak awal pertemuannya dengan Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo — nama lengkap bos MNC Group itu. Pertolongan pertama datang ketika Hary Tanoe tersandung masalah usai mengakuisisi Bank Papan Sejahtera. Tak lama, Jusuf ikut membantu memodali akuisisi Bank Mashill dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk, yang kala itu menghasilkan keuntungan Rp 60 miliar. ”Tapi Hary Tanoe hanya membagi Rp 900 juta,” kata Jusuf dengan getir.

Kisah itu menjadi awal dari serangkaian persoalan yang kini menggulung dalam gugatan perdata bernilai Rp 119 triliun di PN Jakarta Pusat: perkara Nomor 142/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst tentang dugaan perbuatan melawan hukum dalam transaksi Negotiable Certificate of Deposit (NCD) milik Hary Tanoe yang diduga palsu.
 
Awal dari Perang Surat Berharga
 
Semua bermula pada Mei 1999. Melalui serangkaian surat bernomor Ref No. 059/Dir/HT-BI/V/99, 7 Mei 1999,  No. 064/Dir/HT-BI/V/99, 10 Mei 1999, dan No. 068/Dir/HT-BI/V/99, 12 Mei 1999, perihal Revised Proposal of Our Letter dated 7 May 1999, Hary Tanoe mengajukan penawaran tukar  menukar surat berharga.
 
Dua hari kemudian, 12 Mei 1999, sesuai  surat No. 068/Dir/HT-BI/V/99, CMNP memberikan surat berharga dalam bentuk Medium Term Notes (MTN) terbitan Bank CIC senilai Rp 153,5 miliar dan Obligasi senilai Rp 189 miliar. Sedangkan Hary Tanoe memberikan NCD terbitan PT Bank Unibank Tbk senilai USD 28 juta.
 
NCD, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988, adalah surat berharga atas nama (aan toonder, to bearer) berbentuk sertifikat deposito yang bisa diperjualbelikan di pasar uang dan dipindahtangankan dengan penyerahan fisik. Siapa yang memegangnya, dialah pemiliknya. Dalam hal ini, Hary Tanoe-lah yang menginisiasi dan menyerahkan NCD kepada CMNP.
 
Namun, setelah transaksi swap tuntas, nasib berbalik arah. Berdasarkan Surat Keputusan No. 3/9/KEP.GBI/2001 tanggal 29 Oktober 2001, Bank Indonesia menetapkan PT Bank Unibank Tbk sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan menyerahkan pengurusannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
 
Jusuf gusar, CMNP segera menulis surat No. 850/DIR-KU.11/VIII/2002, tanggal 22 Agustus 2002 kepada BPPN, meminta pencairan NCD senilai USD 28 juta itu. Namun, balasan BPPN tertanggal 28 Agustus 2002 membuatnya nyaris pingsan.
 
Surat BPPN No. PB-1717/BPPN/0802, dengan bahasa yang kering dan teknokratis, menyatakan bahwa NCD yang ia pegang tidak memenuhi syarat alias ineligible untuk dibayarkan.
 
”Penerbitan NCD PT Unibank melanggar ketentuan Surat Edaran BI No. 21/27/UPG (1988), Surat Keputusan Direksi BI No. 31/32/KEP/DIR (1998), serta Ketentuan Program Penjaminan Pemerintah,” tulis BPPN. ”Kendati demikian tidak menghilangkan hak tagih CMNP.”
 
NCD yang diserahkan Hary Tanoe  pada tanggal 5 Mei 2025 berbuntut Laporan Polisi Nomor:LP/B/1580/III/2025/Polda Metro Jaya, dengan persangkaan  dugaan tindak pidana pemalsuan dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun peristiwa pidananya terjadi pada tahun 1999, ternyata tergolong belum kadaluarsa. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 118/PPU-XX/2022 – bahwa daluarsa baru dimulai setelah surat palsu diketahui, digunakan menimbulkan kerugian bagi korban.
 
Pada 8 Januari 2004, CMNP menggugat PT Bank Unibank Tbk, BPPN, Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia. Gugatan itu menjalar hingga ke Mahkamah Agung, dan berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali No. 376 PK/Pdt/2008. Isinya tegas: NCD yang diserahkan Hary Tanoe tidak sah. Harapan Jusuf untuk memperoleh dana itu pun kandas.
 

Eksepsi dan Jawaban Hary Tanoe
 
Dua dekade berselang, sidang perdata baru pun dibuka kembali. Di hadapan majelis hakim PN Jakarta Pusat, Jumat, 26 Agustus 2025, Hotman Paris Hutapea — kuasa hukum Hary Tanoe dan PT MNC Asia Holding — berdiri dengan gaya khasnya. Ia menyatakan, pihak yang seharusnya digugat adalah Drosophila Enterprise Pte Ltd, perusahaan asing, yang disebut membeli surat berharga CMNP, yang tidak ada kaitannya dengan Hary Tanoe. Jadi kata Hotman, Drosophila Enterprise Pte Ltd yang harus digugat. “CMNP salah pihak,” ujar Hotman.
 
Namun fakta di pengadilan justru membalikkan dalil itu. Dokumen dari Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA) Singapura membuktikan: Drosophila Enterprise Pte Ltd, berdiri 16 November 1998 (UEN 199805636E), ternyata 100 persen sahamnya dimiliki oleh Hary Tanoe dan istrinya, Liliana Tanaja. Dengan kata lain, benteng pertahanan Hotman Paris ambruk. Perusahaan yang disebut ”asing” itu ternyata milik kliennya sendiri, yakni Hary Tanoe.
 
Andaikata Firdaus Oiwobo, pengacara kontroversial itu tahu dusta Hotman terkuak, tentu ia bakal tertawa terbahak-bahak. Patut diduga Drosophila sengaja dibentuk Hary Tanoe untuk sekadar dijadikan tameng, agar lepas dari tanggung jawab.
 
Didirikan tujuh bulan sebelum transaksi surat berharga dengan CMNP, Drosophila diduga disiapkan sebagai perisai dalam skema pertukaran NCD. Fakta lainnya: perusahaan itu dibubarkan secara sukarela pada 2004 — tak lama setelah kasus ini mulai mencuat.
 
Dalam sidang 22 Oktober 2025, mantan Kepala Biro Keuangan CMNP, Jarot Basuki, memberikan kesaksian di bawah sumpah. ”Transaksi tukar menukar surat berharga antara CMNP dan Hary Tanoe dilakukan langsung oleh Tito Sulistio dan Hary Tanoe,” katanya. ”Tidak ada keterlibatan Drosophila.”
 
Kesaksian itu menguatkan pernyataan Jusuf Hamka di sidang sebelumnya: bahwa kasus NCD ini murni tanggung jawab Hary Tanoe dan MNC Group sebagai pihak pengguna surat berharga yang diduga palsu. ”Dalam hukum pidana, unsur barang siapa-nya jelas: Hary Tanoe,” kata Jusuf tegas.
 
Ini Tukar Menukar, Bukan Jual Beli
 
Seminggu kemudian, 29 Oktober 2025, saksi fakta lainnya, Sulistiowati — staf keuangan CMNP tahun 1999 — bersaksi bahwa ia menerima langsung NCD dari pihak Hary Tanoe setelah menyerahkan MTN dan obligasi milik CMNP. ”Tidak ada arranger dalam transaksi ini,” ujarnya. ”Tidak ada pihak lain yang terlibat selain CMNP dan Hary Tanoe.”
 
Ia juga menegaskan, tidak ada satu pun dokumen yang menunjukkan peran Drosophila. Transaksi itu, katanya, murni tukar-menukar surat berharga, bukan jual-beli.
 
Dalam sidang 5 November 2025, Prof. Dr. Anwar Barohmana, ahli hukum perdata dari Universitas Hasanuddin, menjelaskan dengan gamblang. “Bentuk transaksi antara CMNP dengan PT Asia Holding (d/h PT Bhakti Investama) adalah pertukaran surat berharga, bukan jual-beli,” ujarnya.
 
Menurutnya, jual-beli selalu melibatkan uang, sedangkan dalam kasus ini yang ditukar adalah surat berharga dengan surat berharga. Skemanya jelas: CMNP menukar MTN senilai Rp163,5 miliar dan Obligasi Rp189 miliar dengan NCD terbitan Unibank senilai USD 28 juta.
 
Di luar ruang sidang, perdebatan terus bergulir. Hotman Paris, meski fakta-faktanya kian terpojok, tetap sesumbar: ”Saya menang 12–0.” Sementara Jusuf Hamka hanya tersenyum getir. ”Yang benar tetap akan menang,” cetusnya pelan.
 
Fakta-fakta persidangan telah menunjukkan: Drosophila hanyalah perusahaan cangkang yang sejak 2004 sudah bubar. Tidak ada satu dokumen pun yang menegaskan keterlibatannya dalam peristiwa hukum tukar menukar surat berharga. Tidak ada alasan hukum bagi CMNP untuk ikut menarik Drosophila sebagai pihak tergugat. Selain itu fakta persidangan membuktikan peristiwa hukum murni tukar-menukar surat berharga, bukan jual-beli.
 
Yang tersisa kini adalah pertanyaan: mengapa seorang pengusaha yang pernah membantu saudaranya di masa sulit, kini justru dipermainkan dengan surat berharga kosong?
 

Continue Reading

Nasional

Megawati vs Soeharto, Dian Assafri: Sudahlah Bu, Bangsa Ini Butuh Damai Bukan Drama

Published

on

JAKARTA, SENTANA – Kalau dendam bisa diwariskan, mungkin Ibu Megawati sudah patenkan jadi warisan budaya takbenda nasional. Bagaimana tidak setiap kali nama HM Soeharto disebut dalam konteks penghormatan negara, suasana politik langsung seperti reuni sinetron lama — penuh nostalgia, tapi tetap tegang.

Hal ini lagi-lagi disorot oleh Pengurus DPP Partai Golkar Dian Assafri Nasa’i, yang tampaknya sudah mulai lelah melihat episode “Dendam Orde Baru Season 25” tanpa jeda iklan perdamaian.

“Saya sebagai pengurus DPP Partai Golkar menyambut baik penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Bapak HM Soeharto. Beliau punya jasa besar dalam pembangunan, stabilitas, dan ekonomi. Tapi kok ya, tiap kali nama beliau muncul, langsung ada yang naik tensinya,” ujar Dian dengan nada separuh serius, separuh heran.

Menurut Dian, penolakan Megawati dan geng nostalgia 1998 ini bukan cuma tidak berdasar, tapi juga mulai kehilangan esensi sejarah.

“Dendam sejarah Ibu Megawati dan kelompoknya ini sudah kayak sinetron yang gak ada ending-nya. Capek, Bu. Kasih jeda iklan rekonsiliasi dulu, biar bangsa ini bisa napas,” ujarnya setengah berkelakar.

Dian menilai, bangsa besar itu bukan yang hobi baper politik, tapi yang berani move on dari masa lalu.

“Bangsa besar itu yang bisa menghormati pahlawannya, bukan malah sibuk debat siapa yang paling suci. Kalau semua pemimpin disaring pakai emosi, nanti sejarah isinya cuma ‘drama keluarga besar Republik’,” katanya sambil tersenyum tipis.

Secara akademis, Dian menambahkan bahwa rekonsiliasi sejarah itu penting agar anak cucu bangsa tidak tumbuh dengan mindset “kubu A vs kubu B selamanya”.

“Dalam studi kebangsaan, menghormati tokoh bangsa itu bukan berarti menyembah. Tapi menempatkan mereka di tempat yang pas. Kalau semua salah, nanti kita nyembah siapa? Google?” celetuknya.

Ia juga menegaskan bahwa Partai Golkar tetap pada posisi menjaga nilai-nilai keindonesiaan, bukan kenangan masa lalu yang penuh luka tapi tak kunjung disembuhkan.

“Sudah saatnya bangsa ini berdamai. Kita ini butuh pembangunan, bukan pembalasan. Kalau terus begini, nanti dendam sejarah bisa dimasukkan ke kurikulum sekolah,” sindirnya.

Dian menutup pernyataannya dengan gaya khas dosen santai tapi nyelekit:

“Penghormatan pada Pak Harto bukan soal politik, tapi soal sopan santun sejarah. Bangsa ini butuh lebih banyak tugu penghargaan, bukan panggung curhat masa lalu.”

Catatan Redaksi:

Jika dendam sejarah bisa dijual, mungkin kurs rupiah sudah stabil di angka Rp 5.000 per dolar. Sayangnya, yang dijaga bukan nilai tukar, tapi nilai baper.

Continue Reading
Advertisement

Trending