Connect with us

Kesehatan

1 Tahun Pemerintahan Prabowo 36 Juta Rakyat Sudah Rasakan Cek Kesehatan Gratis

Published

on

Jakarta, Hariansentana.com – Jelang 1 Tahun pemerintahan Presiden Prabowo makin terlihat pencapaiannya, diantaranya adalah yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah Cek Kesehatan Gratis (CGK).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, data terkini menunjukkan sudah ada sekitar 40 juta orang yang mendaftar Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan 36 juta di antaranya sudah dicek kesehatannya, dengan masalah terbanyak berupa sakit gigi.

Program Cek Kesehatan Gratis sendiri diketahui merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto.

“Sudah ada hasilnya. Sudah kelihatan masalah kesehatannya di mana, dan dari 36 juta ini yang paling banyak adalah sakit gigi, tekanan darah tinggi, dan gula darah, itu yang mesti dilakukan pengobatan lebih nih,” kata Budi Gunadi Sadikin.

Dia menjelaskan bahwa CKG adalah inisiatif dari negara guna menjaga agar warga Indonesia tetap sehat dan tidak sampai masuk ke rumah sakit.

Budi menyebut bahwa semua penyakit berat, seperti kanker, sakit jantung, tidak serta merta ada, namun ada tanda-tandanya beberapa tahun sebelum penyakit semakin parah.

“Biasanya paling gampang darah tinggi, gula darah tinggi atau kolesterol orang Indonesia itu didiemin, sudah kena stroke, kena jantung nah itu sebabnya kenapa Cek Kesehatan Gratis dijalankan,” kata Budi Gunadi Sadikin.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Aji Muhawarman mengatakan, capaian ini mencerminkan antusiasme tinggi masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan gratis.

“Partisipasi masyarakat sangat tinggi, menandakan kesadaran semakin besar akan pentingnya pemeriksaan kesehatan rutin, baik untuk pencegahan maupun deteksi dini,” ujar Aji kepada media.

Dari 38,9 juta pendaftar, 93,13% hadir untuk menjalani pemeriksaan. Perinciannya, 27,1 juta orang mengikuti CKG umum, sedangkan 9,1 juta pelajar ikut dalam CKG sekolah. Program ini telah menjangkau 38 provinsi, 511 kabupaten/kota, dan lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas.(Sutarno)

Kesehatan

Reklasifikasi Rumah Sakit: Jumlah Tempat Tidur Menjadi RS Berbasis Kompetensi.

Published

on

By

Ket, Photo – Prof Eko bersama Tim dari Kementerian Kesehatan dan Manajemen Bali International Hospital, dalam rangka meninjau kesiapan RS berbasis kompetensi. (Foto Ist).

Jakarta, Hariansentana.com – Prof. Dr. Eko Supriyanto P.H.Eng, Presiden Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia (PTPI) mengungkapkan bahwa, Pemerintah tengah menyiapkan perubahan besar dalam sistem klasifikasi rumah sakit nasional: dari berbasis jumlah tempat tidur (TT) menjadi berdasarkan kompetensi dan kapabilitas layanan. Kebijakan baru ini akan mengubah cara penilaian mutu rumah sakit, dengan fokus pada kemampuan klinis, kualitas SDM dan hasil layanan kepada pasien.

“Dalam sistem lama, tipe A–D ditentukan oleh jumlah TT. Namun, data Kementerian Kesehatan 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 42% rumah sakit tipe C dan D memiliki layanan klinis setara rumah sakit tipe B, terutama pada bidang jantung, bedah, dan emergensi,” ungkapnya melalui keterangan, Sabtu (18/10).

Karena itu, dijelaskan Prof. Eko, klasifikasi baru akan menggunakan kategori Madya, Utama dan Paripurna, yang menilai kesiapan fasilitas, tenaga kesehatan tersertifikasi, penerapan standar mutu dan keselamatan pasien. Reklasifikasi ini juga diharapkan memperbaiki sistem rujukan nasional.

“Dengan model baru, pasien dapat langsung dirawat di rumah sakit yang memiliki kompetensi layanan, tanpa harus menunggu rujukan ke rumah sakit tipe A. Sistem pembiayaan pun akan disesuaikan: rumah sakit dengan level kompetensi lebih tinggi akan memperoleh tarif BPJS dan dukungan kebijakan yang proporsional,” imbuhnya.

Informasi tentang reklasifikasi ini akan dibahas dalam seminar pada tanggal 24 Oktober 2025 pukul 08.00–10.00 WIB di INAHEF 2025, Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta.

Acara ini menghadirkan narasumber dari Kementerian Kesehatan RI, KARS dan PERSI, serta melibatkan rumah sakit, asosiasi dan perguruan tinggi untuk memberikan masukan dalam membangun sistem kesehatan nasional yang lebih adil dan berdaya saing global. (Red).

Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan agenda lengkap INAHEF 2025, silakan kunjungi situs resmi di https://inahef.com

Continue Reading

Kesehatan

APAAACI Congress 2025 Resmi Digelar

Published

on

Photo : Seruan Aksi untuk Mengatasi Perubahan Iklim serta Peningkatan Beban Asma dan Alergi pada Individu dan Masyarakat

Jakarta, Hariansentana.com – Asosiasi Alergi, Asma, dan Imunologi Klinis Asia Pasifik (APAAACI), bekerja sama dengan Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia (ISAI), menyelenggarakan APAAACI 2025 pada 9-12 Oktober 2025 di Fairmont, Jakarta, Indonesia.

Dengan mengusung tema “Kesatuan dalam Keberagaman: Memajukan Sains dan Inovasi dalam Alergi, Asma, dan Imunologi – Dari Genetika hingga Terapi Berbasis Sel,” kongres ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno., Deputi Pariwisata RI Vinsensius Jemadu., Prof. Ruby Pawankar, Executive Director and Past President, APAAACI., Ketua Kongres IPAAACI Prof Amir HA Latif., Prof Iris Rengganis serta para pejabat lain.

Dalam sambutannya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno mengungkapkan pentingnya inovasi medis, pemerataan akses, dan kerja sama global dalam menghadapi tantangan kesehatan respirasi dan imunologi.

Pemerintah Indonesia, kata Menko PMK, berkomitmen membangun ekosistem yang mendukung inovasi kesehatan melalui regulasi yang jelas, investasi pada ilmuwan dan tenaga kesehatan, serta memastikan manfaat inovasi dapat diakses seluruh lapisan masyarakat.
“Inovasi tanpa akses adalah janji yang tak terpenuhi. Kita harus membangun sistem kesehatan yang maju sekaligus adil,” tegasnya.

Menko PMK menegaskan bahwa tantangan kesehatan global menuntut kolaborasi lintas negara, berbagi data, penelitian bersama, harmonisasi regulasi, dan aksi kolektif menghadapi ancaman seperti perubahan iklim dan polusi udara.
“Tidak ada satu negara atau institusi pun yang mampu menyelesaikan masalah ini sendiri. Skala tantangannya menuntut kolaborasi global, berbagi pengetahuan, penelitian bersama, harmonisasi regulasi, dan aksi kolektif menghadapi ancaman seperti perubahan iklim,” ujarnya.

Kongres ini bertujuan untuk menyederhanakan teknologi ilmiah diperbarui dengan wawasan klinis praktis, yang ditujukan untuk para klinisi dan peneliti. Dengan partisipasi para pakar internasional dan regional.

Direktur Eksekutif dan Mantan Presiden, APAACI. Prof Ruby Pawankar, mengatakan saat ini penyakit alergi, yang mencakup kondisi serius seperti anafilaksis, alergi makanan, beberapa jenis asma, rinitis, konjungtivitis, angioedema, urtikaria, eksim, serta alergi terhadap obat dan serangga, kini perhatian menjadi utama kesehatan global.

“Perubahan iklim adalah krisis kesehatan global. Dampaknya terasa bukan hanya pada paru-paru, tetapi juga pada sistem kekebalan tubuh, menyebabkan peningkatan penyakit alergi dan asma di semua kelompok usia,” imbuh Prof Ruby.

Di seluruh dunia, diperkirakan 300 juta orang menderita asma, 200 hingga 250 juta orang mengalami alergi makanan, dan 400 juta orang hidup dengan rinitis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa asma saja menyebabkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun. Angka prevalensi penyakit alergi, terutama dalam bentuk yang lebih parah, terus menunjukkan tren peningkatan.

Kawasan Asia Pasifik, yang merupakan rumah bagi dua pertiga populasi dunia, mencakup beben yang sangat besar dari penyakit-penyakit ini.

Faktor lingkungan seperti perubahan iklim, yang dipicu oleh pemanasan global akibat akumulasi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, polusi udara, dan penurunan keanekaragaman hayati, menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia. Dampak buruknya terasa pada berbagai penyakit tidak menular (PTM) atau penyakit gaya hidup, dengan penyakit alergi menjadi yang paling umum di antaranya.

Indonesia seperti negara-negara Asia lainnya, juga menghadapi peningkatan prevalensi asma serta bentuk alergi makanan yang lebih parah dan anafilaksis. Proses ini diperburuk oleh faktor lingkungan, termasuk masalah kabut asap lintas batas yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

SERUAN AKSI
Menanggapi situasi mendesak ini, diserukan beberapa aksi penting:

  • Perlunya tindakan segera untuk mengatasi perubahan iklim di seluruh sektor ekonomi dan sosial di semua tingkatan.
  • Pentingnya kebijakan pemerintah yang bertujuan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, memulihkan keanekaragaman hayati, serta menekan polusi udara di dalam dan di luar ruangan.
  • Upaya mitigasi lainnya, seperti meningkatkan efisiensi energi pada kendaraan dan bangunan, serta mengurangi paparan terhadap zat-zat beracun.
  • Peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pola makan yang sehat dan seimbang sebagai langkah pencegahan penyakit alergi.
  • Penerapan pendekatan One Health secara multidisiplin, yang menekankan hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
  • Pembentukan konsorsium yang melibatkan berbagai organisasi dan badan global untuk bersama-sama mengatasi mitigasi iklim melalui pendekatan One Health.

Prof Ruby mengungkapkan APAAACI juga merupakan salah satu organisasi yang aktif mengangkat isu perubahan iklim dalam konteks kesehatan.

“Kami menerbitkan white paper pada 2020 mengenai perubahan iklim, polusi udara, dan keanekaragaman hayati, serta bekerja sama dengan WHO, UNEP, dan berbagai pemimpin negara,” kata Prof Ruby.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Prof Dr Dr Iris Rengganis, SpPD-KAI, menuturkan bahwa kesempatan menjadi tuan rumah adalah bentuk pengakuan terhadap peran aktif Indonesia di bidang kesehatan lingkungan.

Dengan menjadi tuan rumah, katanya, Indonesia tidak hanya menunjukkan kapasitasnya dalam menyelenggarakan forum internasional, tetapi juga memperkuat kolaborasi antarnegara dalam mencari solusi terhadap krisis iklim dan kesehatan. “Kami bersyukur bisa menyambut para ahli dunia di sini dan memudahkan terjadinya kolaborasi untuk riset, edukasi, serta kebijakan yang lebih berpihak pada kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan”. (***)

Continue Reading

Kesehatan

APAAACI dan ISAI Gelar Kongres APAAACI 2025, pada 9-12 Oktober 2025 di Fairmont, Jakarta, Indonesia.

Published

on

Jakarta, Hariansentana.com – Asosiasi Alergi, Asma, dan Imunologi Klinis Asia Pasifik (APAAACI), bekerja sama dengan Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia (ISAI), menyelenggarakan Kongres APAAACI 2025 pada 9-12 Oktober 2025 di Fairmont, Jakarta, Indonesia.

Dengan mengusung tema “Kesatuan dalam Keberagaman: Memajukan Sains dan Inovasi dalam Alergi, Asma, dan Imunologi – Dari Genetika hingga Terapi Berbasis Sel,” kongres ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno., Deputy of Tourism RI Vinsensius Jemadu., Prof. Ruby Pawankar, Executive Director and Past President, APAAACI., Ketua Kongres IPAAACI Prof Amir HA Latif., Prof Iris Rengganis serta para pejabat lain.

Kongres ini bertujuan untuk memadukan kemajuan ilmiah mutakhir dengan wawasan klinis praktis, yang ditujukan bagi para klinisi dan peneliti. Dengan partisipasi para pakar internasional dan regional.

Executive Director and Past President, APAAACI. Prof. Ruby Pawankar, mengatakan saat ini penyakit alergi, yang mencakup kondisi serius seperti anafilaksis, alergi makanan, beberapa jenis asma, rinitis, konjungtivitis, angioedema, urtikaria, eksim, serta alergi terhadap obat dan serangga, kini menjadi perhatian utama kesehatan global.

Di seluruh dunia, diperkirakan 300 juta orang menderita asma, 200 hingga 250 juta orang mengalami alergi makanan, dan 400 juta orang hidup dengan rinitis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa asma saja menyebabkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun. Angka prevalensi penyakit alergi, terutama dalam bentuk yang lebih parah, terus menunjukkan tren peningkatan.

Kawasan Asia Pasifik, yang merupakan rumah bagi dua pertiga populasi dunia, menanggung beben yang sangat besar dari penyakit-penyakit ini.

Faktor lingkungan seperti perubahan iklim, yang dipicu oleh pemanasan global akibat akumulasi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, polusi udara, dan penurunan keanekaragaman hayati, menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia. Dampak buruknya terasa pada berbagai penyakit tidak menular (PTM) atau penyakit gaya hidup, dengan penyakit alergi menjadi yang paling umum di antaranya.

Indonesia seperti negara-negara Asia lainnya, juga menghadapi peningkatan prevalensi asma serta bentuk alergi makanan yang lebih parah dan anafilaksis. Srtuasi ini diperburuk oleh faktor lingkungan, termasuk masalah kabut asap lintas batas yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

Untuk itu melalui kongres ini APAAACI menyerukan beberapa aksi penting diantaranya:

Perlunya tindakan segera untuk Mengatasi perubahan iklim di seluruh sektor ekonomi dan sosial di semua tingkatan.

Pentingnya kebijakan pemerintah yang bertujuan Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, memulihkan.keanekaragaman hayati, serta menekan polusi udara di dalam dan di luar ruangan.

Upaya mitigasi lainnya, seperti meningkatkan efisiensi energi pada kendaraan dan bangunan serta mengurangi paparan terhadap zat-zat beracun.

Peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pola makan yang sehat dan seimbang sebagai langkah pencegahan penyakit alergi.

Penerapan pendekatan One Health secara multidisiplin, yang menekankan hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan dan Ingkungan. (***)

Continue Reading
Advertisement

Trending