Opini
Membandingkan Capaian Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Vietnam dan Myanmar

Tidak hanya The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), namun juga The Asian Development Bank (ADB) telah mengeluarkan info (release) tentang akan cemerlangnya pertumbuhan beberapa negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Bahkan, dua negara Asean, yaitu Vietnam dan Myanmar yang lebih akhir terbebas dari konflik bersenjata di dalam negeri dibandingkan Indonesia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8% pada Tahun 2020.
Vietnam, hanya dalam tiga dekade mampu bertransformasi dari awalnya adalah salah satu negara termiskin di wilayah Asean, kemudian menjadi salah satu negara tersukses dalam mengelola pembangunan. Jika mencoba mengamati perjalanan sukses Vietnam ini, maka tak bisa dilepaskan dari dimulai pada akhir tahun 1980-an. Mereka mampu menggerakkan ekonomi tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, tetapi juga berorientasi untuk pasar kawasan dan dunia (global market). Strategi ini berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rata-rata 7,0 persen per tahun pada periode 1991 hingga 2010.
Strategi Pembangunan
Pada Tahun 1986, dalam sebuah Kongres Partai muncul sebundel strategi pembangunan ekonomi yang tak lazim jika merujuk teori Marxisme. Doi Moi, dalam bahasa Vietnam yang berarti pembaharuan, diperkenalkan sebagai sebuah semangat baru.
Doi Moi adalah juga merupakan sebuah konsepsi yang pada akhirnya dikenal sebagai sistem ekonomi pasar sosialis. Hal mana kebijakan tak jauh beda juga diterapkan oleh Deng Xiao Ping di Republik Rakyat China (RRC) pascakegagalan “Lompatan Jauh” ala Mao Ze Dong. Artinya, Vietnam yang berideologi komunis tidak melarang sepenuhnya, sebagaimana juga tidak membebaskan semuanya aktifitas pengelolaan modal swasta, bahkan dana asing berputar di negara tersebut. Demikian pula halnya dengan kebijakan RRC di era Deng yang kemudian dilanjutkan oleh Ziang Zemin dan Xi Jin Ping sampai saat ini.
Melalui konsepsi Doi Moi, Vietnam mendorong swasta membangun berbagai industri di negara tersebut dalam berbagai bidang dan terbuka untuk investasi asing secara terbatas. Vietnam kemudian melakukan pendekatan dan melakukan kerjasama ekonomi dengan negara-negara kapitalis Eropa, termasuk di Asia dengan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Proses dan mekanisme perizinan investasi juga dibuat singkat dan ringkas, serta hanya membutuhkan pengesahan dari Gubernur.
Kawasan-kawasan industri baru tercipta, dan beragam insentif diberikan kepada investor manapun yang berminat mengembangkan industri di Vietnam. Melalui kebijakan inilah, perekonomian Vietnam yang hancur dan secara sosial politik sempat terbelah antara Utara dan Selatan melesat dengan cepat dibanding negara Asean lainnya. Selain itu, kebijakan pemihakan (affirmative policy) ekonomi diarahkan pada generasi korban perang saudara yang menyaksikan kehancuran kehidupan sosial-politik dan ekonomi masyarakat Vietnam. Salah seorang korban yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pelaku ekonomi berskala besar pada masa berlangsungnya Doi Moi ini adalah Pham Nhat Vuong.
Masyarakat internasional pun menjadi saksi dan mencatat, bahwa Vietnam yang sebelumnya adalah negara terbelakang, maka selama 30 tahun perjalanan reformasi ekonomi Vietnam yang disebut “Doi Moi” dan telah dicanangkan pada Tahun 1986 dengan 90 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang paling dinamis di Asia. Konsepsi Doi Moi bagi masyarakat Vietnam tidak hanya sebuah strategi pembangunan, namun memberikan semangat untuk membangun secara terencana dan terarah melalui skala prioritas (belajar pada pengalaman Indonesia melalui Bappenas), bahkan juga berkah tersendiri. Hasilnya adalah, pendapatan per kapita negara tersebut naik tajam dari US$ 471 dolar AS pada tahun 2001 (16 tahun setelah kebijakan Doi Moi dicanangkan), lalu meningkat menjadi US$ 2.300 dolar pada tahun 2015.
Dalam aspek “competitiveness”, peringkat Vietnam membaik menjadi urutan 56/140 pada Tahun 2015-2016, yang semula berada pada peringkat 77/104 pada Tahun 2004-2005. Secara umum, Vietnam telah berhasil menggunakan pendekatan baru dalam pembangunan, serta keluar dari isolasi politik dan ekonomi untuk mengembangkan hubungan luar negeri, memperluas integrasi internasional, memperdalam hubungan bilateral, regional dan multilateral.
Begitu juga halnya dengan Myanmar, setelah pesta demokrasi digelar pada Hari Minggu 8 Nopember 2015, tokoh oposisi Aung San Suu Kyi tak luput dalam sorotan media.
Peraih Nobel Kemanusiaan pada 1991 ini dinilai sebagai salah satu simbol penentang rezim pemerintahan junta militer dan tokoh yang selalu mengupayakan tumbuh dan berkembangnya demokrasi di negara Myanmar, kemudian terpilih menjadi Presiden
Perekonomian Myanmar juga berubah drastis dengan strategi pembangunan bertahap, selama 2 (dua) tahun terakhir pertumbuhan ekonominya berdasarkan laporan World Economic Monitor Trend adalah sebesar 6.8 % pada Tahun 2018. Pertumbuhan ekonomi Myanmar ini naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 5.9 % pada Tahun 2017.
Sektor energi, menjadi perhatian utama pemerintah, perusahaan Gobchai melihat potensi investasinya cukup besar di Myanmar karena negeri pimpinan Aung San Suu Kyi itu kekurangan pasokan energi., dan Proyek Pembangkit TTCL sendiri masih menunggu pengesahan dari Menteri Kelistrikan Myanmar untuk bisa dijanlankana di Myanmar sejak Tahun 2010 dengan nilai sejumlah US$18,1 Milyar. Selama April-Oktober 2017 saja, investasi Cina mencapai US$ 841,5 Juta, sementara negara-negara Uni Eropa hanya US$ 3,9 Milyar dan investasi USA hanya sejumlah US$133 juta saja.
Prioritas yang Salah
Lalu, bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa hasil reformasi yang sudah berusia 21 tahun dan pembangunan 5 (lima) tahun terakhir, jawabannya hanya infrastruktur yang mentereng namun bersumber dari utang luar negeri. Pembangunan fisik infrastruktur di beberapa daerah memang tak bisa dibantah mengalami peningkatan cukup pesat. Artinya adalah, ibarat hidup mewah, tapi dibiayai oleh utang.
Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai selama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode 2014-2019 tak beranjak dari kisaran angka 4,7-5%. Hal mana, berbeda dengan era pemerintahan Presiden ke-2 RI almarhum Soeharto yang membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 10,92 persen pada Tahun 1970.
Kesalahan strategi pembangunan dan menetapkan skala prioritas pembangunan melalui pembangunan infrastruktur secara berlebihan atau massif dengan sumber dana berasal dari utang luar negeri akan membawa implikasi dana tersebut tertanam lama pada bangunan fisik. Sementara itu, iklim dan cuaca yang sedang ekstrem akan memperparah keadaan hasil infrastruktur yang telah terbangun apabila terkena bencana. Pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam menggerakkan perekonomian antar wilayah. Namun, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan yang lainnya tanpa perencanaan dan kajian yang komprehensif, akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mengalami perubahan lima tahun mendatang (sampai Tahun 2024) apabila tidak terdapat perubahan strategi pembangunan dan skala prioritas. Justru Vietnam dan Myanmar yang telah “belajar” ke Indonesia lah yang akan menangguk hasil pertumbuhan ekonomi secara optimal, bahkan seperti yang pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru pada Tahun 1970.
Sebagaimana halnya pertandingan sepakbola dalam sebuah kompetisi, apabila telah berkali-kali kalah dalam permainan, maka jika tak ada perubahan strategi akan mengalami kekalahan berikutnya. Demikian juga halnya dalam mengelola pembangunan negara dan bangsa, apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2024-2029 tidak belajar pada kesalahan menetapkan strategi pembangunan dan skala prioritas serta tim ekonomi kabinet pada periode 2014-2019, maka tidak akan terjadi perubahan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5 persen tersebut. Bahkan, Indonesia punya potensi menjadi negara tertinggal di kawasan Asean, dan bukan tidak mungkin akan dilampaui oleh negara lain, seperti Laos dan Kamboja.
Melalui ikhtisar pertandingan sepakbola yang hanya permainan itu, sudah tampak dan terbukti bahwa Indonesia semakin tidak mudah untuk mengalahkan lawannya negara-negara anggota Asean. Semoga fakta ini tak menjadi kenyataan dalam mengelola pembangunan ekonomi negara dan bangsa untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi bangsa yang diperkirakan secara pesimis oleh berbagai lembaga internasional tak bergerak dari 5 persen. Malu rasanya apabila bangsa lain yang belajar strategi pembangunan dan skala prioritas pada Indonesia, justru Indonesia sendiri yang sudah tidak memakainya lagi.
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Opini
Dampak Politik Pengesahan RUU TNI

Oleh : Oktavianus Alfianus Aha
Sejak disahkannya Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada 20 Maret 2025, gelombang kritik terus bermunculan dari berbagai kalangan. Ketakutan akan kembalinya Dwi Fungsi ABRI muncul kembali—mengingat masa lalu kelam ketika TNI menduduki hampir seluruh segmen pemerintahan di era Orde Baru.
Aksi penolakan terhadap RUU ini meletus di berbagai daerah, bahkan ketika masyarakat tengah bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri 2025. Mahasiswa dan masyarakat sipil menilai pengesahan RUU TNI sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi 1998—khususnya prinsip supremasi sipil dan upaya mengembalikan militer ke barak.
Kekecewaan publik pun meluas kepada para wakil rakyat di Senayan yang dinilai mengesahkan RUU ini secara terburu-buru, tanpa kajian akademis yang memadai dan tanpa proses yang transparan. RUU TNI membawa sejumlah dampak politik serius terhadap demokrasi Indonesia, yang dapat diuraikan dalam lima poin berikut:
RUU TNI memperluas peran militer dalam jabatan sipil dengan alasan “penugasan khusus”. Ini berpotensi membuka ruang politisasi militer yang selama ini dikunci oleh semangat reformasi. Saat prajurit aktif diberi legitimasi untuk menduduki jabatan di kementerian, lembaga pemerintah non-pertahanan, bahkan BUMN, maka batas antara militer dan politik menjadi kabur.
Peran militer dalam politik praktis bukan sekadar masalah norma, tapi juga menyangkut stabilitas jangka panjang demokrasi Indonesia. Militer yang terlalu dekat dengan pusat kekuasaan bisa memengaruhi proses pembuatan kebijakan, mengintimidasi lawan politik, dan menciptakan relasi kuasa yang timpang dalam birokrasi.
Salah satu pilar demokrasi adalah kontrol sipil terhadap militer melalui parlemen. Namun, dengan penguatan posisi TNI melalui RUU ini—terutama dalam hal anggaran dan kewenangan operasional—peran DPR sebagai pengawas menjadi lemah. Dalam banyak kasus, sidang-sidang terkait TNI dilakukan tertutup, sehingga akuntabilitas publik sulit dilakukan.
Partai politik pun kehilangan daya tawarnya dalam membentuk kebijakan strategis pertahanan. Bila dibiarkan, situasi ini menciptakan state within a state—TNI sebagai institusi yang berada di luar jangkauan kontrol sipil, namun punya pengaruh besar terhadap kebijakan nasional.
Netralitas TNI dalam kontestasi elektoral adalah prinsip utama dalam demokrasi modern. Namun, perluasan peran aktif militer dalam urusan sipil dan posisi strategis di lembaga pemerintahan bisa membuka celah keterlibatan militer dalam proses politik praktis, terutama pemilu.
Dalam situasi tertentu, militer bisa menjadi alat pengaman kekuasaan bagi rezim yang berkuasa. Misalnya, dengan memainkan peran dalam pengamanan pemilu, atau bahkan memengaruhi distribusi logistik dan stabilitas daerah. Jika ini terjadi, maka TNI tidak lagi dilihat sebagai pelindung bangsa, tapi sebagai alat politik.
RUU TNI berpotensi mendorong militer mengambil bagian langsung dalam sektor-sektor strategis sipil, termasuk pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, hingga pengendalian sosial. Keterlibatan ini meski terlihat efisien, namun mengorbankan prinsip partisipasi publik dan transparansi dalam kebijakan.
Militerisasi kebijakan publik menciptakan budaya top-down yang otoriter dan mengurangi ruang dialog antara negara dan rakyat. Pendekatan koersif yang melekat pada institusi militer tidak cocok dengan kebutuhan pembangunan yang inklusif dan demokratis. Ini adalah kemunduran dalam tata kelola negara modern.
Penguatan posisi militer di ruang publik berpotensi mempersempit ruang kebebasan sipil. Ketika militer diberi ruang untuk menafsirkan “ancaman nasional”, maka ekspresi kritis terhadap pemerintah atau kebijakan pertahanan bisa dianggap sebagai subversif. Hal ini akan berdampak langsung pada kebebasan pers, kebebasan akademik, dan kebebasan berpendapat.
Dalam sistem demokrasi, kritik adalah bagian dari kontrol sosial. Namun dengan meningkatnya peran TNI dalam kehidupan sipil, kemungkinan represif terhadap kelompok masyarakat yang dianggap “mengganggu stabilitas” menjadi lebih besar. Situasi ini akan menciptakan ketakutan dan membungkam aspirasi rakyat.
RUU TNI yang baru disahkan menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Alih-alih memperkuat pertahanan negara, regulasi ini justru membuka pintu bagi militer untuk kembali menguasai ruang sipil, melemahkan lembaga demokrasi, dan mengancam hak-hak dasar warga negara. Ini bukan hanya soal militer dan sipil, tapi soal masa depan demokrasi yang sedang kita bangun bersama.
Opini
Trump dan Jalan Pemulihan Keuangan Pemeritah AS; Nasib Indonesia Bagaimana?

SEMUA statemen Donal Trump di awal membuat dunia terkejut. Segera setelah dilantik Trump mengeluarkan pernyataan dengan level kontoversi top of the top. Dia mengatakan keluar dari WHO, dia mengatakan tidak akan memajaki gaji lembur dan pengeluaran sosial security, termasuk kesehatan, pendidikan dan semua BPJS AS. Lalu dia mengatakan akan mengakhiri konflik Ukraina Russia dan melanjutkan gencatan senjata di Gaza. Sejauh saya baca terakhir Trump menugaskan Kennedy Junior untuk menginvestigasi vaksin dan mengusut tuntas kematin John F Kennedy.
Saya sebetulnya tidak kaget karena seluruh rencana AS di masa Trump dapat dipetakan secara mudah. AS pertama-tama harus memulihkan APBN Amerika Serikat yang sekarang jebol. Maka pengeluaran negara yang merupakan penipuan seperti pengeluaran untuk WHO harus dihentikan. WHO dituduh menipu rakyat AS, sebanyak 40 persen anggaran WHO diberikan oleh pemerintah AS, namun menurut Trump dipake menghancurkan AS.
Demikian juga rencana AS yang lain juga seluruhnya ditujukan untuk menghentikan penipuan APBN AS seperti termasuk isue LGBT. Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya hanya mengakui dua jenis kelamin yakni laki laki dan perempuan, karena banyak gender akan membahayakan anggaran AS dan melemahkan ekonomi dan Industri AS. Demikian juga dengan penghentian perang Russia vs Ukraina serta perang Israel vs Palestina adalah dalam rangka menghemat belanja APBN AS. Selanjutnya AS akan menyadarkan pengeluaran yang besar untuk pembagunan pasca bencana alam yang tampaknya makin sering terjadi, untuk menggerakkan elonominya kembali.
Setelah rampung dengan masalah APBN, selanjutnya Trump bergerak masuk pada langkah kedua AS yakni memulihkan keuangan negara AS. Hal ini terlihat dari ketidak setujuan Trump pada transisi energi. Hal ini adalah pokok masalah keuangan bagi rezim petro dollar The Federal Reserve. Trump tetap ingin mengembalikan dollar sebagai mata uang tunggal dalam perdagangan global. Dolar tidak boleh digantikan dengan Cripto currency atau diigantikan atau disaingi oleh mata uang BRICS. Tentu saja transisi energi adalah ancaman bagi kekuasaan keuangan AS dan The Fed paca kegagalan Central Bank Digital Currency (CBDC).
Sanksi perdagangan akan diterapkan kepada China negara yang tidak mau menggunakan dolar AS sebagai alat tukar. Menutup jalur perdagangan Narkoba dan perdagangan illegal lainnya yang merusak ekonomi dan keuangan AS. Trump mengkampanyekan anti minuman keras, anti rokok, dan anti narkoba yang diketahuinya sebagai problem bagi Dollar.
Kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump pasti akan berdampak pada Indonesia. Terutama pada aliran investasi AS melalui Singgapore mitra utama AS lainnya, dan perdagangan Indonesia dengan AS. Mengingat Indonesia telah mengambil posisi bergabung dengan BRICS dan akan membuat mata uang sendiri menandingi dollar AS. Dampak berikutnya adalah ekspor Indonesia ke AS akan jadi masalah.
Indonesia berada dalam sikap yang berbeda soal WHO karena Indonesia justru memberi bantuan kepada WHO untuk program kesehatan Indonesia dan vaksinasi. Indonesia juga akan menutup pembangkit batubara untuk komitmen transisi energi 2060. Indonesia berada pada jalur energi mahal terutama BBM solar dengan program sawitisasi solar, sementara Trump AS akan memangkas harga BBM hingga 50 persen dari harga sekarang untuk meningkatkan daya saing mereka.
Namun dampak negatif kebijakan AS dapat kita abaikan. Bagian terakhir statemen Donald Trump yang akan menginvestigasi kematian John F Kennedy adalah berita sangat besar bagi Indonesia. Investigasi adalah pintu masuk. Selanjutnya ini adalah berita tentang tatanan pengembalian harta amanah Indonesia yang digunakan secara manipulatif oleh elite global. Green Hilton Memorial Agreement kesepakatan yang jatuh tempo dan semua aset dikembalikan ke Indonesia. Untuk membangun Indonesia dan mungkin untuk penyerahan tanggung jawab kepada Indonesia untuk membangun kembali Jalur Gaza Palestina seperti yang dikatakan Trump. Wallahualam.()
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi AEPI
Opini
Bisakah Presiden Prabowo Keluar dari Kemelut Darurat Keuangan 2025?

SITUASI keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat covid 19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang-utang sebelum covid 19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi darurat keuangan? 1) Memberlakukan tax amnesty namun gagal, 2) Memberlakukan UU darurat keuangan yakni UU Nomor 2 tahun 2020, namun justru menghasilkan kekacauan keuangan. 3) Menjual obligasi negara kepada BI di Pasar perdana justru menghasilkan utang jangka pendek yang menggunung.
BI sendiri telah memberi warning kepada pemerintah atau menagih. Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai 922,4 triliun rupiah selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.
BI harus segera mempersiapkan debt collector untuk menagih Kementerian Keuangan. Kalau tidak maka ini akan sulit bisa dibayar. Bahayanya hal ini akan meruntuhkan kepercayaan internasional kepada BI, atau lebih jauh BI akan ditaruh di bawah Kementerian Keuangan kembali?
Jalan lain bagi BI adalah berlomba dengan pemerintah menaik-naikkan suku bunga. BI menaikkan bunga SRBInya, pemerintah menaikkan bunga SBN atau SUN nya. Ini agar orang-orang mau membeli surat berharga BI dan pemerintah tersebut, dan ini akan menjadi persaingan yang gawat. Bagaimana bank-bank juga akan berlomba-lomba menempatkan uang mereka ke pada kedua pihak tersebut. Ini jelas kacau belau, rakyat makin kering, pinjaman online dengan bunga mencekik akan makin marak, perceraian marak, bunuh diri pun marak terlilit utang.
Pemerintahan pun sama. Walaupun sampai nangis bombai, Menteri Keuangan tidak akan sanggup membayar utang dan bunga utang tahun 2025 yakni bunga utang 552 triliun rupiah dan utang jatuh tempo covid 19 tadi. Memang waktu dapat duitnya Menteri Keuangan saat itu tertawa lebar. Bayangkan dengan UU darurat covid dia bisa leluasa mendapatkan uang dan leluasa berhutang.
Ini adalah kekuasaan yang sangat besar yang diberikan DPR saat itu. Saya pribadi mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan pada bulan Juni 2020 untuk meminta Menkeu menjelaskan untuk apa saja uang covid 19 itu digunakan.
Bayangkan saja utang di masa covid 19 itu (2020-2022) luar biasa besar. Tahun 2020 Menkeu ambil utang 1.193 triliun rupiah, kemudian tahun 2021 Menkeu mengambil lagi utang 871 triliun rupiah, sementara untuk tahun 2022 sebanyak 591 triliun rupiah. UU darurat memperbolehkan pemerintah ambil utang di atas 3% dari GDP.
Namun yang lebih mantap lagi adalah Menkeu boleh menggunakan uang itu sesuka-sukanya, diberikan ke bank, ke swasta dan ke BUMN. Namun sekali lagi tidak ada pertanggung jawaban yang jelas sampai hari ini, bagaimana uang itu digunakan, dan siapa saja penerimanya?
Jadi bagaimana nasib APBN kalau harus berhenti, atau shut down di tahun 2025 ini? Indonesia memang tidak mengenal sistem goverment shut down, tapi Indonesia bisa menghadapi keadaan kere keriting dan bangkrut. Legitimasi pemerintahan ini dipertaruhkan.
Di bagian lain pemerintah diprovokasi melakukan pelanggaran UU seperti UU harmonisasi peraturan perpajakan, UU APBN, dan UU lainnya. Pemerintah terus menabung pelanggaran UU dan kesalahan. Lawan terus provokasi agar pelanggaran makin banyak, lalu apa rencana mereka nantinya kalau pelanggaran menumpuk? Waspadalah!!!
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi EAPI
-
Ibukota4 days ago
4 Mahasiswa Penyelundup Narkoba Dituntut 6 Tahun Penjara dan Denda 1 Milyar.
-
Ibukota5 days ago
Ribuan Warga Mengadu Nasib Jadi Pasukan Oranye Jakarta
-
Ibukota5 days ago
H.Juani Wakil Walikota Jakut Serahkan 18 SK Pensiun Pegawai
-
Peristiwa6 days ago
Polres Metro Jakarta Pusat Sita Puluhan Ribu Butir Obat Keras dari Pengedar di Tanah Abang