Connect with us

Opini

Buruk Rupa Kinerja, Lion Air Justru Minta Avtur Satu Harga

Published

on

KALI INI bukan lagi pihak PT. (Persero) Garuda Indonesia (BUMN) dan Menteri Perhubungan sebagai pemegang otoritas kebijakan industri transportasi udara (pemerintah) yang menuding mahalnya harga avtur sehingga berakibat mahalnya harga tiket pesawat. Adalah Rusdi Kirana, pemilik Lion Air Group, yang meminta BUMN PT Pertamina (Persero) merealisasikan wacana kebijakan avtur satu harga.

Menurut dia, kebijakan itu dapat meringankan beban harga pokok penerbangan ke rute Indonesia timur yang selama ini dinilai terlalu tinggi dibanding wilayah Pulau Jawa yang menyampaikan permasalahan ini di kantor Kementerian Perhubungan pada Hari Senin petang, 17 Februari 2020 lalu.

Berdasarkan pernyataan Rusdi Kirana tersebut, maka dapat disampaikan hal-hal sebagai betikut:

1. Bahwa disparitas harga avtur antara Indonesia bagian barat dan timur, yaitu harga rata-rata avtur di Indonesia bagian barat berkisar Rp 9.000 per liter, sementara harga avtur di Indonesia timur berkisar Rp 12.000 per liter (ada selisih Rp 4.000 per liter) tak bisa diperbandingkan dengan sejajar begitu saja tanpa memperhatikan harga pokok penjualan sebagai pembentuk perbedaan harga avtur tersebut.

2. Alasan yang disampaikan oleh Rusdi Kirana bahwa, kesenjangan harga avtur membuat harga pokok produksi untuk penerbangan rute timur membengkak dan mengklaim pengeluaran untuk avtur dalam komponen harga pokok produksi atau HPP menempati porsi lebih dari 40 persen adalah tidak berdasar dipermasalahkan saat ini ditengah pertumbuhan ekonomi nasional stagnan pada angka 5 persen dan daya beli masyarakat rendah, kenapa sebelumnya Lion Air tak mempermasalahkannya?

3. Tudingan mahalnya harga avtur ini tentu saja membuat publik bertanya-tanya, ada apa gerangan hubungan Lion Air Group dengan Menteri Perhubungan sehingga mendesak Pertamina menerapkan harga avtur satu harga dan menyalahkan kemahalan tiket pesawat kepada Pertamina sebagai pemasok avtur, atau ada kepentingan lain dengan tudingan ini?

4. Lion Air adalah salah satu pemain utama maskapai penerbangan yang berdasarkan informasi Kementerian Perhubungan banyak melakukan penundaan pembayaran jasa kebandarudaraan kepada Angkasa Pura I (AP-I), dan hal ini bisa jadi salah satu indikator bahwa kondisi keuangan perusahaan sedang bermasalah, hal itu dikuatkan oleh pernyataan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Polana B. Pramesti bahwa secara tersirat kondisi keuangan Lion Air sedang tidak baik.

5. Mengutip Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA), pada Tahun 2018 komponen bahan bakar menyumbang maksimal 23,5% dari total biaya operasi penerbangan pada saat rata-rata harga minyak mentah jenis Brent berada di level US$ 71,67/barel. Sehingga dengan demikian perbedaan harga tiket pesawat lah yang akan memiliki hubungan yang erat pada biaya operasi maskapai, dan ini adalah persoalan profesionalisme manajemen.

6. Selain masalah profesionalisme, PT Lion Mentari Airlines berencana akan menjadi perusahaan terbuka pada Tahun 2020 ini. Maskapai Lion Air itu akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), dan akan melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) dengan menggunakan laporan keuangan tahun buku 30 Juni 2019.

Bisa saja, permasalahan korporasi swasta Lion Air Group yang belum merupakan perusahaan publik dan terbuka lah yang membuat perusahaan tidak dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen efektif, efisien dan profesioal yang menyebabkan kinerjanya buruk, mengapa harga avtur Pertamina yang dipermasalahkan?

Oleh karena itu, diminta kepada otoritas perhubungan udara dan Presiden Joko Widodo tidak serta merta menanggapi keluhan mahalnya harga avtur sebagai salah satu faktor penyebabnya sehingga merealisasikan kebijakan avtur satu harga secara gegabah.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Menyoal Rencana Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET

Published

on

By

RANCANGAN Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) merupakan RUU inisiatif DPR. Sesuai Keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022, RUU ini termasuk RUU prioritas, seperti tercantum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 melalui Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022. Artinya, RUU ini telah berumur lebih dari 1 tahun, untuk akhirnya mungkin dapat diundangkan oleh DPR periode 2019-2024.

Sesuai namanya, RUU EBET dimaksudkan memuat berbagai ketentuan tentang energi baru dan energi baru terbarukan. Energi baru bisa berarti energi “bentuk baru” yang dihasilkan dari sumber-sumber energi “lama”, seperti gas hasil gasifikasi batubara. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi. Dalam hal ini, dibanding energi baru, IRESS cenderung mendukung agar UU ini lebih fokus memuat norma terkait energi terbarukan.

Kita memang sudah mempunyai UU tentang energi atau panas bumi. Namun kedua UU ini mungkin belum memadai mengakomodasi berbagai hal guna memenuhi kebutuhan energi bersih, terutama energi listrik ke depan. Apalagi dengan target emisi karbon nol pada 2060. Karena itu, kita berharap DPR dan pemerintah akhirnya bisa segera menghasilkan UU EBET yang sesuai konstitusi, kepentingan stake holders energi/listrik dan pemenuhan kebutuhan energi bersih berkelanjutan ke depan.

Sesuai nama, UU EBET harus memuat ketentuan/norma energi, energi baru, energi terbarukan dan aspek-aspek yang terkait. Sehingga terbangun dan tersedia energi guna memenuhi demand secara efektif, efisien, andal, berkelanjutan, emisi karbon minimal, transisi energi berlangsung mulus, dan ketahanan energi nasional pun tercapai.

Tahun 2023 yang lalu konsumsi listrik nasional adalah 285 TWh. PLN memproyeksikan konsumsi tersebut naik menjadi 468 TWh pada 2033. Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN periode 2024 – 2033, PLN menargetkan 75% pembangkit listrik adalah berbasis EBT, dan sisanya 25% gas. Untuk itu dibutuhkan dana investasi sekitar US$ 150 miliar. Dengan kondisi demikian, dipahami bahwa upaya optimal perlu dilakukan Indonesia agar target tersebut dapat dicapai, termasuk menyelesaikan RUU EBET.

Terlepas apakah relevan dengan kepentingan negara, BUMN dan rakyat, salah satu norma penting yang akan diatur dalam EBET adalah tentang skema power wheeling. Itu pula sebabnya mengapa power wheeling menjadi “kata kunci” dalam judul acara webinar ini. Minimal agar norma hukum skema tersebut dapat ditetapkan tanpa merugikan negara/BUMN dan rakyat.

Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM telah menuntaskan pembahasan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBET. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan RUU EBET akan mengakomodir skema power wheeling dalam RUU EBET dan diharapkan tuntas tahun 2024 ini (8/5/2024). Sedangkan Kementerian ESDM mengatakan mengatakan pemerintah tidak pernah ragu dan mendorong masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET (8/5/2024).

Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN. Menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, skema power wheeling dapat dijalankan selama ada pihak yang mau membangun mekanisme tersebut dan memiliki pasar tersendiri, sepanjang tidak mengganggu sistem yang sudah ada. Kata Arifin: “Misalnya, dia mau bangun dan ada demand sendiri, mau bangun pembangkit kan bisa,” 22/3/2024).

Skema power wheeling mungkin dapat memberi manfaat bagi kelistrikan Indonesia, terutama guna memenuhi demand listrik yang tinggi di satu sisi dan kebutuhan investasi di sisi lain. Investor memang perlu diberi insentif. Namun tidak berarti kebutuhan investasi ini, dan cara memeperolehnya dilakukan at any costs. Jika skema power wheeling adalah salah satu cara meraih minat investor, maka tetap saja ketentuan/norma yang mengatur penerapannya harus tunduk pada prinsip-prinsip moral, berkeadilan bagi seluruh rakyat, bebas moral hazard, sesuai prinsip GCG, bebas bebas praktik pendekatan kekuasaan otoriter, bebas kepentingan oligarkis, serta tunduk kepada amanat konstitusi dan perintah UU.

Kita sangat concerned dengan pendekatan-pendekatan anti demokrasi, anti keadilan, melanggar azas-azas moral, dan anti konstitusi/UU berlaku, baik dalam proses pembentukan (formil) maupan dalam menetapkan norma RUU EBET (materil). Belajar dari praktik telah berlangsung selama ini, pendekatan kekuasaan oligarkis dan diduga sarat KKN telah banyak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara tersebut.

Salah satu pelanggaran sangat prinsip adalah diabaikannya hak prinsip natural monopoly BUMN/PLN yang diamanatkan dan dijamin Pasal 33 UUD 1945. Sektor strategis dan menyangkut hidup orang banyak, dikuasai negara/BUMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, pelanggaran juga terbukti dari Putusan MK atas dua kali judicial review UU Kelistrikan (No.20/2002 dan No.30/2009 dangan Putusan MK No.1/2003 dan No.111/2015), yang dikabulkan oleh MK, namun tidak digubris atau malah diabaikan oleh pemerintah.

Dampak dari pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain tidak optimalnya ketahanan energi nasional, tingginya tarif listrik bagi rakyat dan industri, besarnya beban operasi BUMN dan tingginya beban subsidi dan kompensasi listrik di APBN. Hal ini terjadi antara lain karena pelanggaran-pelanggran UU/peraturan terkait penyediaan listrik oleh Independent Power Producer (IPP), penyusunan dan penerapan RUPTL, skema power wheeling (sesuai PP No.14/2012 dan skema take or pay (TOP), dll.

Seperti disebut di atas, pelanggaran terhadap konstitusi dan UU berlaku dalam industri listrik nasional sudah umum terjadi. Ketentuan power wheeling dalam PP No.14/2012 telah melanggar Pasal 33 UUD, serta menyabot hak monopoli dan menggerogoti bisnis BUMN. PP ini bisa saja tetap berlaku. Memperhatikan rencana pemerintah dan DPR yang demikian antusias mendorong penerapannya dalam RUU EBET, tampaknya status ketentuan skema power wheeling akan meningkat menjadi ketentuan UU.

Kebijakan IPP, TOP dan power wheeling versi PP No.14/2012 masih menyisakan nestapa dan kerugian bagi negara/BUMN, konsumen listrik dan APBN hingga saat ini dan masa depan. Kerugian tersebut berpotensi akan bertambah jika norma tentang power wheeling diatur sesuai kepentingan oligarki kekuasaan dan perburuan rente.

Karena itu, Pemerintah dan DPR harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan (formil) UU EBT dan penetapan ketentuan (material) sesuai konstitusi dan UU PPP (UU No.12/2011 atau UU No.15/2019). Dalam hal ini publik/rakyat diminta untuk ikut berperan aktif.

Pemerintah pernah mencoba memberi “peluang bisnis” kepada pengusaha pada tahun 2021 melalui rencana penerbitan peraturan tantang PLTS Atap. Diyakini peraturan tersebut sarat moral hazard, tidak adil, serta akan merugikan BUMN dan sebagian besar konsumen listrik. Namun karena advokasi perlawanan publik dan berbagai pihak, upaya tersebut akhirnya dibatalkan. Memperhatikan profil kekuasaan oligarki saat ini, tampaknya peran partisipasi publik dalam pembentukan UU EBET ini sangat dibutuhkan.

Kita memahami pentingnya memenuhi target-target pemenuhan demand energi, investasi, net zero emission, ketahanan energi dan Pembangunan nasional. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Maka, IRESS menuntut agar pembentukan UU EBET harus tetap berpegang pada prinsip-prisnsip bernegara dan kepentingan nasional tersebut.(*)

Oleh: Marwan Batubara, Pengamat Energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS), mantan Anggota DPD

Continue Reading

Opini

Maluku di Persimpangan Jalan

Published

on

By

DUNIA saat ini sedang berubah dengan sangat cepat. Bersamaan dengan itu dunia juga dihadapkan pada situasi disrupsi dalam hampir semua sektor kehidupan. Yang pasti dunia sekarang melirik kawasan Asia Pasifik yang menjadi pusat pertumbuhan dunia yang baru. Pertumbuhan ekonomi dan kemajuan peradaban berpusat di kawasan ini.

Maluku yang sudah dikenal dunia sejak abad 17 mestinya mampu mereposisi perannya selain sebagai penghasil rempah, kini juga sebagai penyokong perikanan dan hasil laut serta akan menjadi pelopor energi bersih ramah lingkungan. Maluku berpotensi menjadi magnet pertumbuhan di timur Indonesia jika dikelola secara cerdas dan inovatif. Isu global seperti pangan, energi, lingkungan sangat nyata bersinggungan dengan eksistensi dan profil Maluku Masa Depan.

Perlu ada lompatan inovasi dan langkah konkrit yang cerdas untuk membawa Maluku keluar dari berbagai ketertinggalan selama ini. Satu langkah strategis yang bisa dilakukan yaitu dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Maluku (MPRM). MPRM diisi oleh tokoh-tokoh yang sudah selesai dengan personal and family interest yang dapat berasal dari Tokoh Lintas Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Cendikiawan, Akademisi, Inovator, Pebisnis, Pengamat, Wartawan serta Politisi yang berasal dari Maluku dan saat ini berkarya di Maluku maupun di luar Maluku.

MPRM menjadi mitra Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Pusat. Maluku juga harus mempunyai wakil di Kabinet Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Upaya ini bermaksud untuk meningkatkan Posisi Tawar Maluku di Tingkat Nasional maupun Internasional. Ini sangat penting dan strategis untuk dapat lebih cepat membawa Maluku keluar dari himpitan rantai kemiskinan ditengah potensi sumberdaya alam berlimpah.

Potret Kondisi Maluku
Provinsi Maluku masuk dalam kategori daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Kondisi afirmasi ini harus dimaknai sebagai sebuah tantangan, bukan hambatan. Sebagai sebuah tantangan, harus direspon melalui gagasan-gagasan besar dan lompatan inovasi cerdas.

Kehadiran lembaga pendidikan vokasi dan juga akademik yang berbasis keteknikan dan kewirausahaan seyogianya diakomodir dengan jumlah dan sebaran yang proporsional di seluruh Maluku untuk menjawab tantangan tersebut dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang ada. Investasi pendidikan tidak bisa sim sala bim dapat dilihat hasilnya. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang perlu ditopang oleh konsistensi dan kepedulian yang tinggi.

Badan PBB untuk pembangunan (UNDP) merilis laporan tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM),  memperlihatkan bahwa pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan dari pembangunan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan. IPM mengukur kemajuan jangka panjang dari tiga dimensi utama pembangunan manusia yaitu usia hidup panjang dan sehat, akses pada ilmu pengetahuan, serta standar kehidupan yang layak.

Kualitas pendidikan merupakan salah satu variabel penyebab kemiskinan. Pembangunan pendidikan yang proporsional antara kuantitas dan kualitas menjadi suatu keniscayaan. Pendidikan yang tidak berkualitas akan menghasilkan luaran yang sulit mengakses pekerjaan formal.

Fokus Pembangunan
Mendorong terbangunnya Poros Ekonomi Maluku menjadi hal yang sangat penting. Poros Ekonomi Maluku dibangun melalui pendekatan gugus pulau dengan mengedepankan potensi unggulan lokal yang dimiliki masing-masing wilayah.

Pembangunan Poros Ekonomi Maluku juga dapat dikoneksikan dengan pembangunan poros ekonomi yang ada di provinsi yang berbatasan dengan Maluku diantaranya Maluku Utara, Papua dan Papua Barat serta seluruh provinsi di pulau Sulawesi plus Bali. Pada tataran global, Poros Ekonomi Maluku juga dapat dikoneksikan dengan Australia, Timor Leste dan negara-negara Pasifik yang kini sedang menjadi perhatian garapan kementerian luar negeri Indonesia.

Salah satu pilar penting dan strategis yang juga perlu dibangun adalah budaya melayani birokrat. Pada era globalisasi dengan disrupsi akibat revolusi industri 4.0, perubahan iklim dan digitalisasi penyelenggaraan pemerintahan seperti sekarang ini, berkonsekuensi terhadap layanan birokrasi yang dapat mempercepat atau sebaliknya menghambat investasi.

Menyediakan karpet merah kepada investor untuk berinvestasi akan memberikan dampak positif berantai untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahwa birokrat sebagai petugas negara bersikap melayani, bukan dilayani adalah filosofi global yang seharusnya melekat menjadi budaya birokrasi di Maluku.

Sementara itu, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kiblat masa depan dunia. Kultur entrepreneurship harus dibangun pada semua lini. Maluku sangat membutuhkan kepemimpinan non interest, visioner, kolaboratif dengan kualifikasi intelektual berwawasan kebangsaan, memiliki jejaring komunikasi luas yang terkoneksi tidak saja di tingkat nasional tetapi juga internasional. Kemampuan untuk melakukan lompatan inovasi, kreativitas serta konektivitas menjadi penentu masa depan Maluku.() 

Oleh: Dr. Ir. Ishak Tan, M.Si, Ph.D Kebijakan Publik Universiti Utara Malaysia; Alumni Diktannas Lemhanas; Mantan Rektor Universitas Iqra Buru Maluku

Continue Reading

Opini

Anggaran Pendidikan Aduhay…

Published

on

By

Oleh : Djafar Badjeber

JAKARTA, HARIANSENTANA.COM — Sejak tahun 2009 pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 % di APBN dan APBD ditingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota. Tentunya anggaran ini cukup besar untuk peningkatan SDM anak didik.

Komitemen Pemerintah ini patut diapresiasi oleh kita semua, karena anggaran pendidikan Indonesia terbesar di Asia. Meskipun anggaran pendidikan Indonesia cukup besar, Human Capital Index Indonesia tahun 2020 hanya mencapai 0,54. Singapura mencapai 0,88, Vietnam 0,69 dan Malaysia 0,61. PISA (Programme for Internasional Student Assessment) maupun HCI sangat tergantung pada kualitas tenaga pendidik/guru.

Konon peringkat Indonesia kalah dengan negara diatas, karena kualitas pendidik/guru kurang memadai. Guru yang PNS-pun kompetensinya kisaran Skor 50-an dari 100 dan hanya 4 % guru yang dapat Skor 70.

Baru-baru terungkap anggaran Pendidikan dalam APBN Rp 665 Trilyun/satu tahun. Alokasi untuk kepentingan Pendidikan hanya 15% atau Rp 98 Trilyun. Sisanya untuk operasional Diknas dan Depag. Bagaimana akuntabilitas pendidikan dan anggarannya ?

Sebenarnya belanja operasional Diknas dan Depag bisa dihemat atau dipotong dengan lebih memprioritaskan UKT (Uang Kuliah Tunggal ) yang belakangan ini naik gila-gilaan. Kebijakan UKT ini tentu memberatkan Mahasiswa (orang tua).

Apakah kenaikan UKT ini akibat new liberalisasi dan kapitalisme di Kampus, sehingga Pendidikan ikut menjadi korban Liberalisasi dan Kapitalisasi.

Harusnya Pemerintah meringankan beban Mahasiswa, bila perlu subsidi seluruhnya alias gratis.

Saat ini kita sedang dilanda Bonus Demografi, kelompok Milenial dan Gen Z yang membutuhkan lanjutan pendidikan. Mereka punya cita-cita, punya impian, punya mimpi, ingin berhasil, maka jawabannya beri kesempatan yang luas.

Penerintah punya tanggung jawab kepada kelangsungan SDM Indonesia yang kompetitif agar bisa bersaing dipasar Internasional.

Penulis:

  • Anggota MPR RI 1987-1992
  • Wakil Ketua DPRD DKI 1999-2004
Continue Reading
Advertisement

Trending