Connect with us

Uncategorized

BBM Impor Ancam Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional!

Published

on


Dalam Pasal 2 dan 3 Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM ditetapkan adanya 3 jenis BBM, yaitu 1) BBM Tertentu, berupa minyak tanah dan solar, 2) BBM Khusus Penugasan, berupa bensin RON 88, dan 3) BBM Umum, berupa berbagai jenis BBM selain jenis BBM 1) dan 2), seperti pertamax, solar non-subsidi, pertalite, avtur, dll. Karena rendahnya tingkat produksi minyak dan kapasitas kilang domestik, maka impor minyak mentah dan BBM telah berlangsung rutin sejak awal 2000an.
Dalam kondisi produksi migas nasional yang terus menurun, serta konsumsi BBM dan LPG domestik yang terus meningkat, maka defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan pun terus meningkat, terutama akibat tingginya impor migas. Situasi memburuk karena tidak optimalnya penggunaan EBT sebagai substitusi BBM. Sehingga peningkatan kedua jenis defisit ini semakin parah selama pemerintahan Jokowi, dan mencapai puncak pada 2018. Akibatnya, nilai tukar US$/Rp pun semakin tinggi, rata-rata Rp 14.200,- dalam 5 tahun terakhir, disbanding rata-rata hanya Rp 11.200,- per US$ selama pemerintahan SBY.
Guna mengurangi double deficit (perdagangan & transaksi berjalan) sejumlah program pun telah dicanangkan Jokowi sejak 2017-2018 yang lalu. Hal ini kembali dicanangkan pada awal bekerjanya Kabinet Indonesia Maju Oktober 2019 lalu. Salah satu program yang akan diintensifkan adalah peningkatan porsi CPO pada biodiesel dari B20 ke B30, hingga ke porsi lebih tinggi (di atas 50% atau B50). Ke depan kita berharap pemerintah konsisten membuat berbagai kebijakan operasional terkait dengan program Bxx tersebut, sehingga kondisi double deficit bisa turun dan ketahanan energi nasional pun meningkat. Mari kita evaluasi.
Program pencampuran CPO ke BBM jenis solar ternyata sudah dicanangkan sejak 2008 melalui Permen ESDM No.32/2008, dengan target B10 pada 2015. Guna meningkatkan porsi CPO dalam BBM solar, Permen ESDM No.32/2008 kemudian dikoreksi oleh Permen ESDM No.25/2013, sehingga implementasi B20 ditargetkan tercapai pada 2016. Selanjutnya, mandatori penggunaan CPO direvisi lagi melalui Permen ESDM No.12/2015 dengan target B30 pada 2020 untuk sektor-sektor transportasi PSO dan non PSO, serta industri dan komersial.
Merujuk pada visi, kebijakan dan program, kita memang sudah cukup canggih. Namun bicara implementasi, ternyata pemerintah sering tidak konsisten dan tidak pula cukup bertenaga untuk tidak mengatakan bak bebek lumpuh. Misalnya, pemerintah tak cukup berdaya menghadapi pemilik perkebunan sawit atau produsen CPO untuk menjamin alokasi CPO bagi program Bxx, terutama saat harga CPO dunia sedang naik. Sehingga target-target yang sudah dicanangkan sejak 2008 atau 2013 melalui Permen-permen ESDM pun tidak pernah tercapai!
Untuk pelaksanaan program B30 pada 2020, pemerintah telah pula menerbitkan Kepmen ESDM No.227 K/10/MEM/2019 Tentang Uji Coba Pencampuran BBN Biodiesel 30% (B30) ke dalam BBN Solar, yang ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 15 November 2019. Bagaimana prospek tercapainya program? Tentu hal tersebut kembali tergantung pada sikap dan kebijakan pemerintah, antara lain apakah akan tetap konsisten, kuat menghadapi produsen-produsen CPO kelas kakap, dan juga mafia minyak.
Terkait mafia minyak, rakyat curiga bahwa diperluasnya distribusi dan penjualan BBM RON 88 ke seluruh Indonesia merupakan upaya mafia untuk meningkatkan volume penjualan dan impor BBM bensin, RON 88. Untuk itu pemerintah telah merevisi Perpres No.191/2014 dengan Perpres No.43/2018, sehingga distribusi bensin yang tadinya dilarang di Jawa, Bali dan Madura, berubah menjadi diperbolehkan. Padahal, jika pembatasan berlanjut sesuai Perpres No.191/2014, minimal defisit fiskal bisa turun atau impor bensin pun bisa turun.
Mafia minyak selalu berkepentingan meningkatkan volume impor minyak mentah dan BBM, tidak peduli apakah hal tersebut akan mempengaruhi target penurunan double deficit dan program Bxx. Terlepas apakah terkait dengan mafia atau tidak, faktanya pemerintah/BPH Migas telah memberi izin kepada beberapa badan usaha yang sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan raksasa asing seperti BP, Shell dan Exxon untuk mengimpor BBM, terutama BBM umum, termasuk solar non-subsidi.
Pemberian izin impor kepada badan-badan usaha di atas antara lain dapat membuat target B20 atau B30 tidak tercapai, defisit neraca perdagangan tetap tinggi dan peran Pertamina mendukung ketahanan energi semakin rendah. Dalam hal ini badan-badan usaha yang berpatner dengan asing berpotensi melanggar aturan akibat moral hazard atau memanfaatkan lemahnya pengawasan. Untuk meraih keuntungan lebih besar, mereka dapat memilih untuk mengimpor dan menjual BBM jenis solar 100% dibanding harus mencampur dengan biodiesel.
BBM solar yang diimpor badan-badan usaha asing tersebut pun memang berasal dari kilang milik perusahaan terafilisasi di Singapore. Selain itu, konsumen pasti memilih minyak solar murni 100% dibanding yang bercampur biodiesel. Jika perusahaan-perusahaan tersebut dibiarkan terus melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebijakan dan peraturan pemerintah terkait B20 atau B30, maka jelas target pengurangan double deficit pun akan gagal.
Pada prinsipnya, pemberian izin bagi badan usaha mengimpor BBM tertentu, jelas bertentangan dengan Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945, yakni bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dalam hal ini peran penguasaan negara dijalankan oleh Pertamina. Karena itu, walaupun badan usaha swasta/asing dapat berbisnis di sektor hilir migas sebagaimana diatur dalam UU Migas No.22/2001 dan PP No.36/2004, namun dengan adanya Putusan MK No.36/2012, maka peran swasta tersebut mestinya dibatalkan. Peran importir BBM mestinya diberikan hanya pada Pertamina yang seharusnya juga berperan sebagai aggregator.
Selain hal di atas, Pasal 11 (a) Peraturan BPH Migas No.09/P/BPH Migas/XII/2005 antara lain telah mengatur bahwa penunjukan langsung sebuah badan usaha melakukan pengadaan BBM wajib memenuhi ketentuan perlindungan aset kilang dalam negeri termasuk pengembangannya dalam jangka panjang. Ternyata ketentuan tersebut telah dilanggar. Badan-badan usaha pengimpor BBM tersebut tidak peduli dan merasa perlu memenuhi kepentingan strategis nasional sesuai Peraturan BPH Migas No.09/P/BPH Migas/2015.
Bahkan dengan besarnya volume impor BBM yang dilakukan badan-badan usaha swasta, BBM solar yang dihasilkan kilang Pertamina mengalami kelebihan pasokan. Mereka tidak berminat membeli dari Pertamina, mungkin karena sejumlah alasan. Namun dikaitkan dengan target Presiden Jokowi mengurangi defisit neraca perdagangan, maka hal paling mendasar ini sudah pasti tidak tercapai! Sebab, izin impor tetap dibiarkan oleh pemerintah/BPH Migas pada kondisi kilang Pertamina mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bagi Pertamina, kondisi sistemik, terencana dan inkonstitusional yang sarat kepentingan oligarkis di atas tidak saja menambah beban operasi karena kilang-kilang BBM tidak beroperasi secara penuh, tetapi juga mengurangi pangsa pasar dalam bisnis solar. Lambat laun porsi bisnis BBM Pertamina akan terus digerogoti, kinerja keuangan korporasi secara umum menurun, kemampuan untuk melakukan cross-subsidy ke daerah-daerah minim konsumen dan wilayah 3T pun ikut menurun. Sehingga ketahanan energi nasional pun akan ikut pula terancam menjadi lebih buruk.
Lebih lanjut dari kondisi di atas, dengan semakin meningkatnya porsi BBM yang diimpor oleh swasta untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka rencana pembangunan kilang baru Pertamina (refinery development master plan, RDMP) menjadi terganggu atau tidak sepenuhnya relevan. Padahal Presiden Jokowi telah berulang-kali mengatakan bahwa proyek RDMP harus segera terbangun, dan telah dikonfirmasi oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif, terutama untuk mengurangi double deficit.
Jika ditinjau dari sisi lain, “kebijakan” pemberian izin impor kepada badan-badan usaha yang terafiliasi dengan asing tersebut dapat saja merupakan hal yang terkait dengan kepentingan oligarki dan mafia minyak untuk menghambat pembangunan kilang-kilang baru di Indonesia. Asing-asing yang memiliki kapasitas produksi BBM yang sangat besar di Singapore, yang baru saja meningkatkan kapasitas produksi, sudah pasti sangat berkepentingan untuk terus mengekspor BBM ke Indonesia.
Bersama-sama dengan mafia migas, asing dan badan-badan usaha yang terafiliasi dengan asing “dapat dianggap” berusaha menghambat pembangunan proyek-proyek RDMP. Karena itu, tak heran jika proyek-proyek RDMP tersebut gagal terbangun sesuai target, dan Indonesia akan terus hidup dengan kilang-kilang tua Pertamina yang biaya produksinya semakin tidak efisien. Sehingga dengan produk-produk BBM yang lebih mahal, maka produk-produk BBM impor milik asing akan semakin mendominasi di Indonesia. Jika sudah demikian, apakah keseluruhan proyek masih relevan?
Kita menghargai niat Presiden dan Kabinet Indonesia Maju untuk menekan double deficit, antara lain dengan program-program Bxx, RDMP dan peningkatan porsi EBT, dll. Namun tampaknya program-program tersebut tidak dijalankan secara konsisten dan “sepenuh hati”. Kepentingan mafia dan oligarki tampanya masih berpengaruh dan mengintervensi. Misalnya, jika pembangunan listrik panas EBT bumi ingin digalakkan, mengapa diterbitkan peraturan pricing listrik yang justru menghambat? Jika volume impor BBM ingin diturunkan, mengapa pula sejumlah badan usaha diizinkan impor padahal produksi domestik tersedia?
Akhirnya kita Cuma bisa berharap semoga pemerintah tidak bersikap lain kata dengan perbuatan, tetapi konsisten dengan rencana yang sudah disusun. Rakyat tidak butuh retorika pemberantasan mafia, tetapi jejak-jejak intervensi atau bahkan peran mafia masih terasa dalam berbagai praktik kebijakan di lapangan. Jika mafia dan oligarki terus terlibat dalam pembuatan kebijakan dan program-program strategis pemerintah, maka jangan harap target double deficit akan tercapai. Bahkan yang terjadi bukan saja ketahanan energi akan semakin turun, tetapi ketahanan ekonomi nasional pun akan memburuk. Kita butuh konsistensi, bukan retorika!

Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Uncategorized

HLN ke-78, 14 Ribu Pelanggan PLN Jakarta Nikmati Promo Tambah Daya

Published

on

By

Jakarta, Situsenergi.com – PT PLN (Persero) memberikan promo tambah daya melalui aplikasi PLN Mobile. Hal ini dilakukan dalam rangka Hari Listrik Nasional ke-78 tahun 2023.

General Manager PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya, Lasiran mengatakan, sebanyak 14 ribu lebih pelanggan telah menikmati promo tambah daya.

“14.201 pelanggan PLN UID Jakarta Raya telah menikmati promo tambah daya dalam rangka Hari Listrik Nasional 2023 melalui PLN Mobile yang berlangsung hingga 30 November 2023,” ujar Lasiran di Jalarta, Selasa (5/12/2023).

Tak hanya itu, Lasiran juga memastikan suplai listrik di Jakarta dalam kondisi cukup dan andal.

“PLN UID Jakarta Raya memastikan suplai listrik dalam kondisi cukup. PLN siap menyuplai listrik ke rumah pelanggan karena daya mampu PLN saat ini sebesar 10.669 MW dengan beban puncak sebesar 5.800 MW,” tutup Lasiran.()

Continue Reading

Uncategorized

Di Ajang Pertemuan Iklim Dunia Pertamina Siap jadi Pemain Utama Penyimpan Karbon Indonesia

Published

on

By

Dubai, Hariansentana.com – Pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 atau Conference of the Parties (COP) 28, PT Pertamina (Persero) nyatakan kesiapannya jadi pemain utama penyimpanan karbon di Indonesia. Kesiapan Pertamina dibuktikan melalui program Carbon Capture Utilisation Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilisation Storage (CCUS).

Hal itu disampaikan Senior Vice President Research and Technology Innovation Pertamina Oki Muzara pada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Dalam paparannya, Oki melihat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan Pertamina. Ia menyebutkan, ada 400 gigaton (GT) potensi CCS serta kapasitas bisnis CCS/CCUS yang mencapai 60 juta ton per tahun (MTPA) di Indonesia.

Demi menangkap peluang tersebut, saat ini Pertamina telah memiliki delapan lokasi CCS/CCUS yang pengembangannya dikolaborasikan bersama mitra strategis lainnya. Terdapat dua lokasi di Sumatera, empat lokasi di Jawa, dan dua di Sulawesi. Saat ini inisiatif CCS/CCUS tengah berada pada fase studi kelayakan yang meliputi teknis bawah permukaan, fasilitas permukaan, dan ekonomi.

“Sebagai BUMN sektor minyak dan gas yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia namun disaat bersamaan menjalankan program dekarbonisasi. Pertamina melihat CCUS sebagai upaya meningkatkan jumlah minyak dan gas kita sekaligus mendukung target NZE,” ucap Oki di sela diskusi bertajuk “Harnessing Potential of Indonesia CCS Development for Carbon Removal Implementation Towards a Cleaner Future” di Paviliun Indonesia pada COP28, Sabtu (2/12).

Pertamina kini mengembangkan proyek CCUS di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang memiliki potensi penyimpanan karbon 146 ribu ton. Pertamina juga sedang mengembangkan proyek CCS sebagai platform yang mendukung produksi amonia dan hidrogen rendah karbon.

Karbon dioksida (CO2) dari pembangkit amonia dan kilang nantinya akan dihapus dari pembangkit hidrogen, dengan teknologi konsentrasi tinggi, dan unit pembakaran, dengan konsentrasi rendah. Selanjutnya, CO2 akan dikompres dan diangkut ke area di sekitar pembangkit, lalu terjadilah injeksi CO2 atau proses CCS.

Setelah itu, nantinya akan terbentuk senyawa hidrogen dan amonia sebagai bahan baku rendah karbon. Proses ini telah dilakukan di kawasan Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Basin. Oki menyebutkan, rata-rata CO2  dari pembangkit hidrogen di Balikpapan sebesar 1,4 juta ton per tahun. Sedangkan kapasitas penyimpanannya sebesar 270 juta ton.

Sementara itu, produksi amonia dilakukan di Pembangkit Amonia Banggai. CO2 dari pembangkit amonia mencapai 1 juta ton per tahun. Kapasitas penyimpanannya mencapai 273 juta ton. “Jika semua berjalan lancar, 2030 selesai, dan penyimpanan dapat digunakan,” kata Oki.

Ia menyatakan, Pertamina mendorong pemanfaatan CCS dan CCUS sejak Pertemuan Glasgow dua tahun lalu. Sejak saat itu, Pertamina secara konsisten mempertimbangkan agar teknologi ini dapat diterapkan. “Kami terus mengembangkan tahap per tahap, sambil menunggu kepastian kebijakan dari pemerintah,” ujar Oki.

Ada banyak kesepakatan untuk membentuk kebijakan tersebut, termasuk perhitungan CCS/CCUS ke dalam Nationally Determined Contributions (NDC), kolaborasi antarlembaga, dan dialog lainnya.

Aspek yang perlu diperhatikan dari pengembangan CCS dan CCUS adalah belanja modal. Persoalan ini dapat diatasi dengan mengembangkan nature-based solution (NBS), karena biayanya paling murah. Solusi lainnya adalah penangkapan metana.

Oki menekankan, semua ini akan terwujud jika seluruh pihak saling bersinergi. “CCS/CCUS adalah bisnis yang bisa kita pelajari dan bangun ilmu bersama,” imbuhnya.

Sesi ini juga dihadiri oleh Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladona Maulianda. Ia menambahkan, CCS adalah inovasi paling memungkinkan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong target karbon netral. CCS memiliki berbagai manfaat seperti mengurangi biaya, mencegah risiko dagang, membuka lapangan kerja, dan mendorong pemgembangan industri rendah karbon.

Sementara itu, Global Advocacy Manager Global CCS Institute Guloren Turan menilai Indonesia sudah berada di jalur yang tepat untuk mengembangkan CCS. Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya penyimpanan dan telah berupaya mengembangkan kapasitas dan kerangka kebijakan.

Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.(*)

Continue Reading

Uncategorized

PLN EPI Borong 8 Penghargaan Internasional LACP Spotlight dan Inspire Award 2023

Published

on

By

Jakarta, Hariansentana.com – PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) sebagai anak usaha PLN meraih delapan penghargaan global melalui Penyusunan Laporan Tahunan dan Laporan Keberlanjutan Tahun 2022 dalam acara LACP Spotlight dan Inspire Award 2023 yang diadakan oleh League of American Communications Professionals LLC (LACP). PLN EPI membuktikan konsistensinya dalam melaksanakan GCG  dan makin memperkuat visinya menjadi solusi energi primer terintegrasi nomor satu se Asia Tenggara.

Delapan Penghargaan tersebut antara lain 2 Platinum Award, Top 100 Corporate Publications, Top 100 Communications Materials untuk Laporan Tahunan PLN EPI Tahun 2022 dan  1 Platinum Award, 1 Gold Award, Top 100 Corporate Publications,  Top Communications Materials untuk Laporan Keberlanjutan PLN EPI Tahun 2022.

PLN EPI  berhasil menempati peringkat 13 untuk Laporan Tahunan 2022 dari 100 perusahaan dunia, dan menempati peringkat 14 untuk Laporan Keberlanjutan 2022 dari 100 perusahaan dunia.  Dengan pencapaian ini, PLN EPI berhasil mengungguli perusahaan ternama di dunia seperti SK Telecom dan Lotte Corporation dari Korea.

Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara menerangkan, penghargaan ini merupakan bentuk komitmen PLN EPI dalam menerapkan transparansi informasi publik melalui informasi perusahaan yang transparan dan akurat kepada stakeholdernya. Di sisi lain, torehan ini merupakan salah satu pencapaian  dalam menjalani good, corporate, governance (GCG) sebagai upaya pemenuhan peraturan (compliance).

“Pencapaian ini merupakan pengakuan internasional atas komitmen PLN EPI dalam penerapan GCG yang konsisten melalui Laporan Tahunan dan Laporan Keberlanjutan dan menjadi motivasi bagi perusahaan untuk terus meningkatkan standar komunikasi dan transparansi perusahaan, serta berkomitmen untuk memberikan informasi yang akurat, relevan, dan bermanfaat kepada semua pihak yang terlibat dengan PLN EPI,” papar Iwan Agung.

Dalam Laporan Tahunan 2022 PLN EPI  mengangkat tema “Membangun Pondasi Ketersediaan Energi Primer Menuju Net Zero Emmision.” Sementara dalam Laporan Keberlanjutan 2022, PLN EPI mengangkat tema “Membangun Pondasi Keberlanjutan Mendukung Pencapaian Target Net Zero Emmision”.
League of American Communications Professionals melakukan penilaian terhadap ratusan perusahaan yang berpartispasi berdasarkan enam indicator yakni first impression, keseluruhan pesan narasi, kejelasan narasi pesan narasi yang disampaikan kepada pemegang saham,  kreatifitas penyusunan dan desain Annual Report Perusahaan serta relevansi perspektif

Sebagai informasi, League of American Communications Professionals LLC (LACP) merupakan badan independen yang membuat kompetisi Laporan tahunan yang diikuti berbagai perusahaan di berbagai macam industri dari seluruh dunia  termasuk peserta dari Fortune Global 500 setiap tahunnya.(s)

Continue Reading
Advertisement

Trending